1.Hikayat Burung Cenderawasih
Sahibul hikayat telah diriwayatkan dalam Kitab Tajul Muluk, mengisahkan seekor burung yang bergelar burung cenderawasih. Adapun asal usulnya bermula dari kayangan. Menurut kebanyakan orang lama yang arif mengatakan ianya berasal dari syurga dan selalu berdamping dengan para wali. Memiliki kepala seperti kuning keemasan. Dengan empat sayap yang tiada taranya. Akan kelihatan sangat jelas sekiranya bersayap penuh adanya. Sesuatu yang sangat nyata perbezaannya adalah dua antena atau ekor ‘areil‘ yang panjang di ekor belakang. Barangsiapa yang melihatnya pastilah terpegun dan takjub akan keindahan dan kepelikan burung cenderawasih.
Amatlah jarang sekali
orang memiliki burung cenderawasih. Ini kerana burung ini bukanlah berasal dari
bumi ini. Umum mengetahui bahawa burung Cenderawasih ini hanya dimiliki oleh
kaum kerabat istana saja. Hatta mengikut sejarah, kebanyakan kerabat-kerabat
istana Melayu mempunyai burung cenderawasih. Mayoritas para peniaga yang
ditemui mengatakan ia membawa tuah yang hebat.
Syahdan dinyatakan lagi dalam beberapa kitab Melayu
lama, sekiranya burung cenderawasih turun ke bumi nescaya akan berakhirlah
hayatnya. Dalam kata lain burung cenderawasih akan mati sekiranya menjejak kaki
ke bumi. Namun yang pelik lagi ajaibnya, burung cenderawasih ini tidak lenyap
seperti bangkai binatang yang lain. Ini kerana ia dikatakan hanya makan embun
syurga sebagai makanannya. Malahan ia mengeluarkan bau atau wangian yang sukar
untuk diperkatakan. Burung cenderawasih mati dalam pelbagai keadaan. Ada yang
mati dalam keadaan terbang, ada yang mati dalam keadaan istirahat dan ada yang
mati dalam keadaan tidur.
Walau
bagaimanapun, Melayu Antique telah menjalankan kajian
secara rapi untuk menerima hakikat sebenar mengenai BURUNG CENDERAWASIH ini.
Mengikut kajian ilmu pengetahuan yang dijalankan, burung ini lebih terkenal di
kalangan penduduk nusantara dengan panggilan Burung Cenderawasih.
Bagi kalangan masyarakat China pula, burung ini dipanggil sebagai Burung
Phoenix yang banyak dikaitkan dengan kalangan kerabat istana Maharaja
China. Bagi kalangan penduduk Eropah, burung ini lebih terkenal dengan
panggilan ‘Bird of Paradise‘.
Secara faktanya, asal
usul burung ini gagal ditemui atau didapathingga sekarang. Tiada bukti yang
menunjukkan ianya berasal dari alam nyata ini. Namun satu lagi fakta yang perlu
diterima, burung cenderawasih turun ke bumi hanya di IRIAN JAYA (Papua
sekarang), Indonesia saja. Tetapi yang pelik namun satu
kebenaran burung ini hanya turun seekor saja dalam waktu tujuh tahun. Dan ia
turun untuk mati. Sesiapa yang menjumpainya adalah satu tuah. Oleh itu,
kebanyakan burung cenderawasih yang anda saksikan mungkin berumur lebih dari 10
tahun, 100 tahun atau sebagainya. Kebanyakkannya sudah beberapa generasi yang
mewarisi burung ini.
Telah dinyatakan dalam
kitab Tajul Muluk bahawa burung cenderawasih mempunyai pelbagai kelebihan.
Seluruh badannya daripada dalam isi perut sehinggalah bulunya mempunyai khasiat
yang misteri. Kebanyakannya digunakan untuk perubatan. Namun ramai yang
memburunya kerana ‘tuahnya’. Burung cenderawasih digunakan sebagai ‘pelaris’.
Baik untuk pelaris diri atau perniagaan. Sekiranya seseorang memiliki bulu
burung cenderawasih sahaja pun sudah cukup untuk dijadikan sebagai pelaris.
Mengikut ramai orang yang ditemui memakainya sebagai pelaris menyatakan, bulu
burung cenderawasih ini merupakan pelaris yang paling besar. Hanya orang yang
memilikinya yang tahu akan kelebihannya ini. Namun yang pasti burung
cenderawasih bukannya calang-calang burung. Penuh dengan keunikan, misteri,
ajaib, tuah.
2.Hikayat Amir
Dahulu kala di Sumatra, hiduplah seorang
saudagar yang bernama Syah Alam. Syah Alam mempunyai seorang anak bernama Amir.
Amir tidak uangnya dengan baik. Setiap hari dia membelanjakan uang yang diberi
ayahnya. Karena sayangnya pada Amir, Syah Alam tidak pernah memarahinya. Syah Alam hanya bisa mengelus dada.
Lama-kelamaan Syah Alam jatuh sakit.
Semakin hari sakitnya semakin parah. Banyak uang yang dikeluarkan untuk
pengobatan, tetapi tidak kunjung sembuh. Akhirnya mereka jatuh miskin.
Penyakit Syah Alam semakin parah.
Sebelum meninggal, Syah Alam berkata”Amir, Ayah tidak bisa memberikan apa-apa
lagi padamu. Engkau harus bisa membangun usaha lagi seperti Ayah dulu. Jangan
kau gunakan waktumu sia-sia. Bekerjalah yang giat, pergi dari rumah.Usahakan
engkau terlihat oleh bulan, jangan terlihat oleh matahari.”
”Ya, Ayah. Aku akan turuti
nasihatmu.”
Sesaat setelah Syah Amir meninggal, ibu
Amir juga sakit parah dan akhirnya meninggal. Sejak itu Amir bertekad untuk
mencari pekerjaan. Ia teringat nasihat ayahnya agar tidak terlihat matahari,
tetapi terlihat bulan. Oleh sebab itu, kemana-mana ia selalu memakai payung.
Pada suatu hari, Amir bertmu dengan
Nasrudin, seorang menteri yang pandai. Nasarudin sangat heran dengan pemuda
yang selalu memakai payung itu. Nasarudin bertanya kenapa dia berbuat demikian.
Amir bercerita alasannya berbuat
demikian. Nasarudin tertawa. Nasarudin berujar, ” Begini, ya., Amir. Bukan begitu
maksud pesan ayahmu dulu. Akan tetapi, pergilah sebelum matahari terbit dan
pulanglah sebelum malam. Jadi, tidak mengapa engkau terkena sinar matahari. ”
Setelah memberi nasihat, Nasarudin pun
memberi pijaman uang kepada Amir. Amir disuruhnya berdagang sebagaimana
dilakukan ayahnya dulu.
Amir lalu berjualan makanan dan minuman.
Ia berjualan siang dan malam.Pada siang hari, Amir menjajakan
makanan, seperti nasi kapau, lemang, dan es limau. Malam harinya ia berjualan
martabak, sekoteng, dan nasi goreng. Lama-kelamaan usaha Amir semakin maju.
Sejak it, Amir menjadi saudagar kaya.
Sumber : Bina Bahasa dan Sastra Indonesia kelas IV: Erlangga
3.PERKARA
SI BUNGKUK DAN SI PANJANG
Pada suatu hari adalah dua orang
laki-istri berjalan. Maka sampailah ia kepada suatu sungai. Maka dicaharinya
perahu hendak menyeberang, tiada dapat perahu itu. Maka dinantinya 1)
kalau-kalau ada orang lalu berperahu. Itu pun tiada juga ada lalu perahu orang.
Maka ia pun berhentilah di tebing sungai itu dengan istrinya. Sebermula adapun
istri orang itu terlalu baik parasnya. Syahdan maka akan suami perempuan itu
sudah tua, lagi bungkuk belakangnya. Maka pada sangka orang tua itu, air sungai
itu dalam juga. Katanya, "Apa upayaku hendak menyeberang sungai ini?"
Maka ada pula seorang Bedawi duduk
di seberang sana sungai itu. Maka kata orang itu, "Hai tuan hamba,
seberangkan apalah kiranya hamba kedua ini, karena hamba tiada dapat berenang;
sungai ini tidak hamba tahu dalam dangkalnya." Setelah didengar oleh
Bedawi kata orang tua bungkuk itu dan serta dilihatnya perempuan itu baik
rupanya, maka orang Bedawi itu pun sukalah, dan berkata di dalam hatinya,
"Untunglah sekali ini!"
Maka Bedawi itu pun turunlah ia ke
dalam sungai itu merendahkan dirinya, hingga lehernya juga ia berjalan menuju
orang tua yang bungkuk laki-istri itu. Maka kata orang tua itu, "Tuan
hamba seberangkan apalah 2) hamba kedua ini. Maka kata Bedawi itu,
"Sebagaimana 3) hamba hendak bawa tuan hamba kedua ini? Melainkan seorang
juga dahulu maka boleh, karena air ini dalam."
Maka kata orang tua itu kepada
istrinya, "Pergilah diri dahulu." Setelah itu maka turunlah perempuan
itu ke dalam sungai dengan orang Bedawi itu. Arkian maka kata Bedawi itu,
"Berilah barang-barang bekal-bekal tuan hamba dahulu, hamba
seberangkan." Maka diberi oleh perempuan itu segala bekal-bekal itu.
Setelah sudah maka dibawanyalah perempuan itu diseberangkan oleh Bedawi itu.
Syahdan maka pura-pura diperdalamnya air itu, supaya dikata 4) oleh si Bungkuk
air itu dalam. Maka sampailah kepada pertengahan sungai itu, maka kata Bedawi
itu kepada perempuan itu, "Akan tuan ini terlalu elok rupanya dengan
mudanya. Mengapa maka tuan hamba berlakikan orang tua bungkuk ini? Baik juga tuan
hamba buangkan orang bungkuk itu, agar supaya tuan hamba, hamba ambit, hamba
jadikan istri hamba." Maka berbagai-bagailah katanya akan perempuan itu.
Maka kata perempuan itu kepadanya,
"Baiklah, hamba turutlah kata tuan hamba itu."
Maka apabila sampailah ia ke
seberang sungai itu, maka keduanya pun mandilah, setelah sudah maka makanlah ia
keduanya segala perbekalan itu. Maka segala kelakuan itu semuanya dilihat oleh
orang tua bungkuk itu dan segala hal perempuan itu dengan Bedawi itu.
Kalakian maka heranlah orang tua
itu. Setelah sudah ia makan, maka ia pun berjalanlah keduanya. Setelah dilihat
oleh orang tua itu akan Bedawi dengan istrinya berjalan, maka ia pun
berkata-kata dalam hatinya, "Daripada hidup melihat hal yang demikian ini,
baiklah aku mati."
Setelah itu maka terjunlah ia ke
dalam sungai itu. Maka heranlah ia, karena dilihatnya sungai itu aimya tiada
dalam, maka mengarunglah ia ke seberang lalu diikutnya Bedawi itu. Dengan hal
yang demikian itu maka sampailah ia kepada dusun tempat Masyhudulhakk itu.
Maka orang tua itu pun datanglah
mengadu kepada Masyhudulhakk. Setelah itu maka disuruh oleh Masyhudulhakk
panggil Bedawi itu. Maka Bedawi itu pun datanglah dengan perempuan itu. Maka
kata Masyhudulhakk, "Istri siapa perempuan ini?"
Maka kata Bedawi itu, "Istri
hamba perempuan ini. Dari kecil lagi ibu hamba pinangkan; sudah besar
dinikahkan dengan hamba."
Maka kata orang tua itu, "Istri
hamba, dari kecil nikah dengan hamba."
Maka dengan demikian jadi
bergaduhlah mereka itu. Syahdan maka gemparlah. Maka orang pun berhimpun,
datang melihat hal mereka itu ketiga. Maka bertanyalah Masyhudulhakk kepada
perempuan itu, "Berkata benarlah engkau, siapa suamimu antara dua orang
laki-laki ini?"
Maka kata perempuan celaka itu,
"Si Panjang inilah suami hamba."
Maka pikirlah 5) Masyhudulhakk,
"Baik kepada seorang-seorang aku bertanya, supaya berketahuan siapa salah
dan siapa benar di dalam tiga orang mereka itu.
Maka diperjauhkannyalah laki-laki
itu keduanya. Arkian maka diperiksa pula oleh Masyhudulhakk. Maka kata
perempuan itu, "Si Panjang itulah suami hamba."
Maka kata Masyhudulhakk, "Jika
sungguh ia suamimu siapa mentuamu laki-laki dan siapa mentuamu perempuan dan di
mana tempat duduknya?"
Maka tiada terjawab oleh perempuan
celaka itu. Maka disuruh oleh Masyhudulhakk perjauhkan. Setelah itu maka dibawa
pula si Panjang itu. Maka kata Masyhudulhakk, "Berkata benarlah engkau
ini. Sungguhkah perempuan itu istrimu?"
Maka kata Bedawi itu, "Bahwa
perempuan itu telah nyatalah istri hamba; lagi pula perempuan itu sendiri sudah
berikrar, mengatakan hamba ini tentulah suaminya."
Syahdan maka Masyhudulhakk pun
tertawa, seraya berkata, “Jika sungguh istrimu perempuan ini, siapa nama
mentuamu laki-laki dan mentuamu perempuan, dan di mana kampung tempat ia
duduk?"
Maka tiadalah terjawab oleh
laki-laki itu. Maka disuruh oleh Masyhudulhakk jauhkan laki-laki Bedawi itu.
Setelah itu maka dipanggilnya pula orang tua itu. Maka kata Masyhudulhakk,
"Hai orang tua, sungguhlah perempuan itu istrimu sebenar-benamya?"
Maka kata orang tua itu,
"Daripada mula awalnya." Kemudian maka dikatakannya, siapa mentuanya
laki-laki dan perempuan dan di mana tempat duduknya
Maka Masyhudulhakk dengan sekalian
orang banyak itu pun tahulah akan salah Bedawi itu dan kebenaran orang tua itu.
Maka hendaklah disakiti oleh Masyhudulhakk akan Bedawi itu. Maka Bedawi itu pun
mengakulah salahnya. Demikian juga perempuan celaka itu. Lalu didera oleh
Masyhudulhakk akan Bedawi itu serta dengan perempuan celaka itu seratus kali.
Kemudian maka disuruhnya tobat Bedawi itu, jangan lagi ia berbuat pekerjaan
demikian itu.
Maka bertambah-tambah masyhurlah
arif bijaksana Masyhudulhakk itu.
Asal hikayat ini cerita dalam bahasa
Sangsekerta, yang bernama Mahaummagajataka. Cerita itu disalin misalnya ke
bahasa Singgala (Sailan) dan Tibet. Dalam bahasa Aceh terkenal dengan nama
Medehaka.