Sabtu, 22 Februari 2014

KAPANKAH WAKTU PUASA ARAFAH?


Oleh: Al-Ustadz Abdul Hakim bin Amir Abdat
https://encrypted-tbn0.gstatic.com/images?q=tbn:ANd9GcSm4wIpPK82VasMiJVrJ_9M4fgkYcn-N7EbjIiLjnYg_mE-uOpPhw
Dari Abu Qatadah Al-Anshariy (ia berkata),” Sesungguhnya Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam pernah di tanya tentang (keutamaan) puasa pada hari Arafah?” Maka beliau menjawab, “  Menghapuskan (kesalahan) tahun yang lalu dan yang sesudahnya.” (HR. Muslim no.1162 dalam hadits yang panjang)
Fiqih Hadits:
Didalam hadits yang mulia ini terdapat dalil dan hujjah yang sangat kuat tentang waktu puasa Arafah, yaitu pada hari Arafah ketika manusia wuquf di Arafah. Karena puasa Arafah ini terkait dengan waktu dan tempat. Bukan dengan waktu saja seperti umumnya puasa-puasa yang lain. Oleh karena puasa Arafah itu terkait dengan tempat, sedangkan Arafah hanya ada di satu tempat yaitu di Saudi Arabia di dekat kota Makkah bukan di Indonesia atau di negeri-negeri yang lainnya, maka waktu puasa Arafah adalah ketika kaum muslimin wuquf di Arafah. Seperti tahun ini 1425 H/2004 M [seperti tertulis di dalam buku, admin] wuquf jatuh pada hari Rabu, maka kaum muslimin di Indonesia dan di seluruh negeri puasa Arafahnya pada hari Rabu dan ‘Iedul Adha-nya pada hari Kamis. Bukan sesudahnya, yakni puasanya pada hari kamis dan ‘iednya pada hari Jum’at, dengan alasan? mengikuti ru’yah di negeri masing-masing seperti halnya bulan Ramadhan dan ‘Iedul Fithri. Pendapat ini batil kalau tidak mau dikatakan sangatlah batil, karena telah menyalahi ketegasan hadits di atas, di mana Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam di tanya tentang puasa pada hari Arafah, yakni pada hari ketika manusia wuquf di Arafah. Adapun hari sesudahnya bukan hari Arafah lagi tetapi hari ‘Ied, dan lusanya bukan hari ‘Ied lagi tetapi hari Tasyrik. Ini yang pertama!
Yang kedua, hujjah di atas lebih lemah dari sarang laba-laba, karena telah mempergunakan qiyas ketika nash telah ada. Kaidah fiqqiyyah mengatakan, “Apabila nash telah datang, maka batallah segala pendapat”.
Yang ketiga, qiyas yang mereka gunakan merupakan qiyas yang berbeda dengan apa yang di qiyaskan atau qiyas faariq. Tidak dapat disamakan hukumnya antara Ramadhan dan ‘Iedul Fithri tanggal satu Syawwal dengan puasa hari Arafah dan ‘Iedul Adha. Maka sabda Nabi shallallahu’alaihi wa sallam , “Puasalah karena melihat ru’yah (Ramadhan), dan berbukalah ketika melihat ru’yah (Syawwal)”. Jelas sekali untuk puasa di bulan Ramadhan dan ‘Iedul Fithri, bahwa masing-masing negeri atau negeri-negeri yang saling berdekatan mempunyai ru’yah masing-masing menurut pendapat sebagian ulama sebagaimana saya telah jelaskan dengan luas di Al-Masaa-il jilid 2 masalah ke 39.
Yang keempat, sebagian dari mereka mengatakan, “Kami melaksanakan dalam rangka menaati dan mengikuti ulil amri!”
Ini adalah perkataan yang sangat batil yang telah menjadikan ulil amri sebagai tuhan-tuhan selain Allah yang telah menetapkan kepada mereka sebuah syari’at walaupun menyalahi Syari’at Rabbul ‘alamin. Oleh karena itu tidak ada seorangpun Ulama yang mengatakan secara mutlak ketaatan kepada ulil amri seperti perekataan yang sangat batil di atas. Akan tetapi mereka selalu mengkaitkan dengan ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya. Apabila perkataan atau ketetapan ulil amri menyalahi ketetapan Al-Kitab dan As-Sunnah, maka tidak boleh didengar dan tidak boleh ditaati, karena tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam rangka maksiat kepada Rabbul ‘alamin sebagaimana telah di jelaskan dalam hadits-hadits yang shahih dalam masalah ini. Selain perkataan dan perbuatan mereka diatas menyerupai manhaj Khawarij secara khusus dan manhaj ahli bid’ah secara umum, yaitu berdalil dengan dalil-dalil umum atau mutlak dengan meninggalkan dalil-dalil yang tidak bersifat umum atau mutlak. Maka ikutilah penjelasan tafsirnya berikut ini:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنكُمْ ۖ فَإِن تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِإِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ۚ ذَٰلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا ﴿٥٩﴾

“Hai orang-orang yang beriman, ta’atilah Allah dan ta’atilah Rasul (-Nya), dan ulil amri diantara kamu. kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah (al-Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu adalah lebih utama(bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (Qs. An-Nisaa’: 59)
Dalam ayat yang mulia iniAllah telah memerintahkan orang-orang yang beriman untuk taat kepada Allah dan Rasul-Nya secara mutlak. Oleh karena itu Allah mengulang fi’il (kata kerja) ” athi’u ” (أَطِيعُوا)ketika memerintahkan untuk menaati-Nya dan menaati Rasul-Nya. Adapun ketaatan kepada ulil amri tidak secara mutlak, tetapi terkait dengan ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya. Oleh karena itu Allah tidak mengulang kata kerja (fi’il) athi’u ketika memerintahkan untuk menaati ulil amri. Karena tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam maksiat kepada Allah dan Rasul-Nya. Apabila ulil amri memerintahkan kepada kita untuk maksiat kepada Allah dan Rasul-Nya atau perintahnya menyalahi Al-Kitab dan Sunnah, maka tidak boleh didengar dan ditaati sebagaimana telah di jelaskan di dalam Al-Kitab dan Sunnah dari hadits-hadits shahih. Karena kalau kita taati perintah ulil amri yang bertentangan dengan Al-Qur’an dan Sunnah, maka kita telah menjadikan ulil amri tersebut sebagai tuhan-tuhan selain dari Allah yang ditaati perintah dan larangannya secara mutlak sebagaimana perbuatan Ahli Kitab dari orang-orang Yahudi dan Nashara. Tetapi sangat pentimg kita ketahui, bahwa larangan tidak boleh mendengar dan mentaati perintah ulil amri yang menyalahi Al-Kitab dan Sunnah, tidaklah mewajibkan kepada kita untuk memberontak yang kemudian menjatuhkannya atau yang semakna dengannya sebagaimana perbuatan ahli bid’ah dan firqoh-firqoh sesat seperti khawarij dan mu’tazilah dan yang sepaham dengan mereka. Tetapi ada cara yang diajarkan oleh islam dalam menasehati dan memperingati ulil amri yang zhalim atau yang memerintahkan maksiat atau yang perintahnya menyalahi keputusan Allah dan Rasul-Nya.
Sedangkan yang dimaksud dengan ketaatan kepada Allah ialah dengan berpegang dan mengikuti kitab-Nya Al-Qur’an. Dan ketaatan kepada Rasul dengan berpegang dan mengikuti Sunnahnya. Ayat yang mulia ini (Qs.An-Nisaa’: 59, admin) menjadi sebesar-besar dalil dan hujjah akan kedudukan dan ketinggian serta kemuliaan Sunnah, bahwa menaati Rasul yakni dengan mengikuti Sunnahnya secara mutlak, baik terdapat di dalam Al-Qur’an atau tidak, sama saja, kewajiban kita mentaati dan mengikutinya. Jelas sekali dari ayat yang muliakita mengetahui, bahwa orang yang meninggalkan Sunnah dengan sendirinya dia telah meninggalkan Al-Kitab (Al-Qur’an) dan tidak menaati Allah secara mutlak. Dari sini pun kita mengetahui, bahwa orang yang menjadikan dalil aqli (yang diputuskan oleh akal) sebagai asas, kemudian dalil naqli(yang diambil dari Al-Qur’an dan Sunnah) mengikutinya, yang pada hakekatnya mereka telah menjadikan akal-akal mereka sebagai raja yang memerintahkan` dua wahyu yang mulia (Al-Kitab dan Sunnah). Mereka inilah orang-orang yang tidak mentaati Allah dan Rasul-Nya sesuai dengan tingkat kesesatan mereka.
Kemudian , pada bagian kedua dari ayat yang mulia ini, Allah Tabaaraka wa Ta’ala telah memerintahkan kepada orang-orang yang beriman untuk mengembalikan segala sesuatu yang mereka perselisihkan dari urusan dunia dan akherat kepada Allah dan Rasul-Nya, yakni kepada Kitab-Nya dan Sunnah Nabi-Nya. Karena didalam Al-Kitab dan Sunnah itulah mereka akan mendapati penjelasan danpenyelesaian tentang hukum yang mereka perselisihkan. Sesuatu hal yang tidak mungkin terjadi ketika Allah memerintahkan untuk mengembalikan segalaperselisihan kepada Kitab-Nya dan Sunnah Rasul-Nya kemudian mereka benar-benar mengembalikan kepada keduanya. Dengan syarat, tentunya mengembalikan kepada keduanya itu dengan cara yang benar, yaitu dengan ilmu dan keadilan bukan dengan kebodohan dan hawa. Dan hal ini menjadi bukti bahwa kita memang benar-benar beriman kepada Allah dan hari akhir. Kemudian buah yang akan dihasilkan dari mengembalikan segala urusan perselisihan kepada Al-Kitab dan Sunnah ialah penyelesaiannya akan berakhir dengan kebaikan dan kebahagiaan dunia dan akhirat kamu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar