Kamis, 06 September 2012
Teori Asal usul Terbentuknya Tata Surya dan Bumi
Dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan
akan terjadi evolusi teori pembentukan
tata surya dan bumi. Perbedaan pendapat dan
kontroversi pasti akan terjadi dalam menyikapi
fenomena alam semesta yang masih sangat
misterius. Berbagai teori sejak jaman dulu hingg jaman modern diungkapkan untuk mengetahui asal usul terjadinya tata surya dan bumi.
Tata Surya adalah kumpulan benda langit yang terdiri atas sebuah bintang yang disebut Matahari dan semua objek yang terikat oleh gaya gravitasinya. Objek-objek tersebut termasuk delapan buah planet yang sudah diketahui dengan orbit berbentuk elips, lima planet kerdil/katai, 173 satelit alami yang telah diidentifikasi[b], dan jutaan benda langit (meteor, asteroid, komet) lainnya.
Tata Surya terbagi menjadi Matahari, empat planet bagian dalam, sabuk asteroid, empat planet bagian luar, dan di bagian terluar adalah Sabuk Kuiper dan piringan tersebar. Awan Oort diperkirakan terletak di daerah terjauh yang berjarak sekitar seribu kali di luar bagian yang terluar.
Berdasarkan jaraknya dari matahari, kedelapan planet Tata Surya ialah Merkurius (57,9 juta km), Venus (108 juta km), Bumi (150 juta km), Mars (228 juta km), Yupiter (779 juta km), Saturnus (1.430 juta km), Uranus (2.880 juta km), dan Neptunus (4.500 juta km). Sejak pertengahan 2008, ada lima obyek angkasa yang diklasifikasikan sebagai planet kerdil. Orbit planet-planet kerdil, kecuali Ceres, berada lebih jauh dari Neptunus. Kelima planet kerdil tersebut ialah Ceres (415 juta km. di sabuk asteroid; dulunya diklasifikasikan sebagai planet kelima), Pluto (5.906 juta km.; dulunya diklasifikasikan sebagai planet kesembilan), Haumea (6.450 juta km), Makemake (6.850 juta km), dan Eris (10.100 juta km). Enam dari kedelapan planet dan tiga dari kelima planet kerdil itu dikelilingi oleh satelit alami, yang biasa disebut dengan “bulan” sesuai dengan Bulan atau satelit alami Bumi. Masing-masing planet bagian luar dikelilingi oleh cincin planet yang terdiri dari debu dan partikel lain.
Bumi adalah planet ketiga dari delapan planet dalam Tata Surya. Diperkirakan usianya mencapai 4,6 milyar tahun. Jarak antara Bumi dengan matahari adalah 149.6 juta kilometer atau 1 AU (Inggris: astronomical unit). Bumi mempunyai lapisan udara (atmosfer) dan medan magnet yang disebut (magnetosfer) yang melindung permukaan Bumi dari angin matahari, sinar ultraungu, dan radiasi dari luar angkasa. Lapisan udara ini menyelimuti bumi hingga ketinggian sekitar 700 kilometer. Lapisan udara ini dibagi menjadi Troposfer, Stratosfer, Mesosfer, Termosfer, dan Eksosfer.
Berbagai teori asal usul terjadinya Bumi dan Tata Surya
Hal utama yang dihadapi untuk mengerti lebih jauh lagi tentang Tata Surya adalah bagaimana Tata Surya itu terbentuk, bagaimana objek-objek didalamnya bergerak dan berinteraksi serta gaya yang bekerja mengatur semua gerakan tersebut. Jauh sebelum Masehi, berbagai penelitian, pengamatan dan perhitungan telah dilakukan untuk mengetahui semua rahasia dibalik Tata Surya.
Pengamatan pertama kali dilakukan oleh bangsa China dan Asia Tengah, khususnya dalam pengaruhnya pada navigasi dan pertanian. Dari para pengamat Yunani ditemukan bahwa selain objek-objek yang terlihat tetap di langit, tampak juga objek-objek yang mengembara dan dinamakan planet. Orang-orang Yunani saat itu menyadari bahwa Matahari, Bumi, dan Planet merupakan bagian dari sistem yang berbeda. Awalnya mereka memperkirakan Bumi dan Matahari berbentuk pipih tapi Phytagoras (572-492 BC) menyatakan semua benda langit berbentuk bola (bundar).
Sampai dengan tahun 1960, perkembangan teori pembentukan Tata Surya bisa dibagi dalam dua kelompok besar yakni masa sebelum Newton dan masa sesudah Newton.
Permulaan Perhitungan Ilmiah
Perhitungan secara ilmiah pertama kali dilakukan oleh Aristachrus dari Samos (310-230 BC). Ia mencoba menghitung sudut Bulan-Bumi-Matahari dan mencari perbandingan jarak dari Bumi-Matahari, dan Bumi-Bulan. Aristachrus juga merupakan orang pertama yang menyimpulkan Bumi bergerak mengelilingi Matahari dalam lintasan berbentuk lingkaran yang menjadi titik awal teori Heliosentrik. Jadi bisa kita lihat kalau teori heliosentrik bukan teori yang baru muncul di masa Copernicus. Namun jauh sebelum itu, Aristrachrus sudah meletakkan dasar bagi teori heliosentris tersebut.
Pada era Alexandria, Eratoshenes (276-195BC) dari Yunani berhasil menemukan cara mengukur besar Bumi, dengan mengukur panjang bayangan dari kolom Alexandria dan Syene. Ia menyimpulkan, perbedaan lintang keduanya merupakan 1/50 dari keseluruhan revolusi. Hasil perhitungannya memberi perbedaan sebesar 13% dari hasil yang ada saat ini.
Ptolemy dan Teori Geosentrik
Ptolemy (c 150AD) menyatakan bahwa semua objek bergerak relatif terhadap bumi. Dan teori ini dipercaya selama hampir 1400 tahun. Tapi teori geosentrik mempunyai kelemahan, yaitu Matahari dan Bulan bergerak dalam jejak lingkaran mengitari Bumi, sementara planet bergerak tidak teratur dalam serangkaian simpul ke arah timur. Untuk mengatasi masalah ini, Ptolemy mengajukan dua komponen gerak. Yang pertama, gerak dalam orbit lingkaran yang seragam dengan periode satu tahun pada titik yang disebut deferent. Gerak yang kedua disebut epycycle, gerak seragam dalam lintasan lingkaran dan berpusat pada deferent.
Teori heliosentrik dan gereja
Nicolaus Copernicus (1473-1543) merupakan orang pertama yang secara terang-terangan menyatakan bahwa Matahari merupakan pusat sistem Tata Surya, dan Bumi bergerak mengeliinginya dalam orbit lingkaran. Untuk masalah orbit, data yang didapat Copernicus memperlihatkan adanya indikasi penyimpangan kecepatan sudut orbit planet-planet. Namun ia mempertahankan bentuk orbit lingkaran dengan menyatakan bahwa orbitnya tidak kosentrik. Teori heliosentrik disampaikan Copernicus dalam publikasinya yang berjudul De Revolutionibus Orbium Coelestium kepada Paus Pope III dan diterima oleh gereja.
Tapi dikemudian hari setelah kematian Copernicus pandangan gereja berubah ketika pada akhir abad ke-16 filsuf Italy, Giordano Bruno, menyatakan semua bintang mirip dengan Matahari dan masing-masing memiliki sistem planetnya yang dihuni oleh jenis manusia yang berbeda. Pandangan inilah yang menyebabkan ia dibakar dan teori Heliosentrik dianggap berbahaya karena bertentangan dengan pandangan gereja yang menganggap manusialah yang menjadi sentral di alam semesta.
Lahirnya Hukum Kepler
Walaupun Copernicus telah menerbitkan tulisannya tentang Teori Heliosentrik, tidak semua orang setuju dengannya. Salah satunya, Tycho Brahe (1546-1601) dari Denmark yang mendukung teori matahari dan bulan mengelilingi bumi sementara planet lainnya mengelilingi matahari. Tahun 1576, Brahe membangun sebuah observatorium di pulau Hven, di laut Baltic dan melakukan penelitian disana sampai kemudian ia pindah ke Prague pada tahun 1596.
Di Prague, Brahe menghabiskan sisa hidupnya menyelesaikan tabel gerak planet dengan bantuan asistennya Johannes Kepler (1571-1630). Setelah kematian Brahe, Kepler menelaah data yang ditinggalkan Brahe dan menemukan bahwa orbit planet tidak sirkular melainkan elliptik.
Kepler kemudian mengeluarkan tiga hukum gerak orbit yang dikenal sampai saat ini yaitu ;
Planet bergerak dalam orbit ellips mengelilingi matahari sebagai pusat sistem.
Radius vektor menyapu luas yang sama dalam interval waktu yang sama.
Kuadrat kala edar planet mengelilingi matahari sebanding dengan pangkat tiga jarak rata-rata dari matahari.
Kepler menuliskan pekerjaannya dalam sejumlah buku, diantaranya adalah Epitome of The Copernican Astronomy dan segera menjadi bagian dari daftar Index Librorum Prohibitorum yang merupakan buku terlarang bagi umat Katolik. Dalam daftar ini juga terdapat publikasi Copernicus, De Revolutionibus Orbium Coelestium.
Hipotesis Nebula
Hipotesis nebula pertama kali dikemukakan oleh Emanuel Swedenborg (1688-1772)[1] tahun 1734 dan disempurnakan oleh Immanuel Kant (1724-1804) pada tahun 1775. Hipotesis serupa juga dikembangkan oleh Pierre Marquis de Laplace[2] secara independen pada tahun 1796. Hipotesis ini, yang lebih dikenal dengan Hipotesis Nebula Kant-Laplace, menyebutkan bahwa pada tahap awal, Tata Surya masih berupa kabut raksasa. Kabut ini terbentuk dari debu, es, dan gas yang disebut nebula, dan unsur gas yang sebagian besar hidrogen. Gaya gravitasi yang dimilikinya menyebabkan kabut itu menyusut dan berputar dengan arah tertentu, suhu kabut memanas, dan akhirnya menjadi bintang raksasa (matahari). Matahari raksasa terus menyusut dan berputar semakin cepat, dan cincin-cincin gas dan es terlontar ke sekeliling matahari. Akibat gaya gravitasi, gas-gas tersebut memadat seiring dengan penurunan suhunya dan membentuk planet dalam dan planet luar. Laplace berpendapat bahwa orbit berbentuk hampir melingkar dari planet-planet merupakan konsekuensi dari pembentukan mereka.
Teori Pembentukan Tata Surya Awal Abad ke-20
Teori Pembentukan Tata Surya Abad 20
Perkembangan teori pementukan Tata Surya pada dekade terakhir abad ke-19 dan dekade pertama abad ke-20, didominasi oleh 2 orang Amerika yakni Thomas Chamberlin (1843-1928) dan Forest Moulton (1872-1952). Dalam membangun teorinya, mereka melakukan komunikasi secara konstan, bertukar pemikiran dan menguji ide-ide yang muncul, namun publikasi atas karya besar mereka dilakukan secara terpisah.
Pada tahun 1890-an, Chamberlin menawarkan solusi untuk teori nebula Laplace. Ia menawarkan adanya satu akumulasi yang membentuk planet atau inti planet (objek kecil terkondensasi diluar materi nebula) yang kemudian dikenal sebagai planetesimal. Menurut Chamberlin, planetesimal akan bergabung membentuk proto planet. Namun karena adanya perbedaan kecepatan partikel dalam dan partikel luar, dimana partikel dalam bergerak lebih cepat dari partikel luar, maka objek yang terbentuk akan memiliki spin retrograde. Walaupun ide planetesimal ini cukup baik, sejak tahun 1900 Chamberlin dan Moulton mengembangkan teori alternatif untuk pembentukan planet. Keduanya mengembangkan teori tentang materi yang terlontar dari bintang membentuk nebula spiral. Nebula spiral ini tidak diketahui asalnya dan berhasil dipotret oleh para pengamat. Menurut mereka, materi yang terlontar ini bisa membentuk planet yang akan mengitari bintang induknya. Tapi ide ini kemudian mereka tolak karena orbit yang mereka dapatkan terlalu eksentrik/lonjong. Chamberlin kemudian membangun teori baru yang melibatkan erupsi matahari. Ia memberikan kemungkinan bahwa spiral nebula merupakan hasil interaksi pemisahan dari bintang yang berada dalam proses erupsi dengan bintang lainnya. Teori ini membutuhkan matahari yang aktif dengan prominensa yang masif. Namun sayangnya gaya pasang surut bintang yang berinteraksi dengan matahari hanya mampu menahan materi prominensa di luar matahari tapi tidak mampu memindahkan materi dari matahari. Untuk itu dibutuhkan jarak matahari-bintang lebih besar dari limit Roche untuk matahari dan massa masif yang lebih besar dari massa matahari untuk bintang lainnya.
Teori Pasang Surut Jeans Astronomi Inggris, James Jeans (1877-1946) mengemukakan Tata Surya merupakan hasil interaksi antara bintang lain dan matahari. Perbedaan ide yang ia munculkan dengan ide Chamberlin – Moulton terletak pada absennya prominensa. Menurut Jeans dalam interaksi antara matahari dengan bintang lain yang melewatinya, pasang surut yang ditimbulkan pada matahari sangat besar sehingga ada materi yang terlepas dalam bentuk filamen. Filamen ini tidak stabil dan pecah menjadi gumpalan-gimpalan yang kemudian membentuk proto planet. Akibat pengaruh gravitasi dari bintang proto planet memiliki momentum sudut yang cukup untuk masuk kedalam orbit disekitar matahari. Pada akhirnya efek pasang surut matahari pada proto planet saat pertama kali melewati perihelion memberikan kemungkinan bagi proses pembentukan planet untuk membentuk satelit.
Pada model ini tampaknya spin matahari yang lambat dikesampingkan karena dianggap matahari telah terlebih dahulu terbentuk sebelum proses pembentukan planet. Selain itu tanpa adanya prominensa maka kemiringan axis solar spin dan bidang orbit matahari-bintang tidak akan bisa dijelaskan.
Tahun 1919, Jeans memperbaharui teorinya. Ia menyatakan bahwa saat pertemuan kedua bintang terjadi, radius matahari sama dengan orbit Neptunus. Pengubahan ini memperlihatkan kemudahan untuk melontarkan materi pada jarak yang dikehendaki. Materinya juga cukup dingin, dengan temperatur 20 K dan massa sekitar ½ massa jupiter. Harold Jeffreys (1891-1989) yang sebelumnya mengkritik teori Chamberlin-Moulton juga memberikan beberapa keberatan atas teori Jeans. Keberatan pertamanya mengenai keberadaan bintang masif yang jarang sehingga kemungkinan adanya bintang yang berpapasan dengan matahari pada jarak yang diharapkan sangatlah kecil.
Tahun 1939, keberatan lain datang dari Lyman Spitzer (1914-1997). Menurutnya jika matahari sudah berada dalam kondisi sekarang saat materinya membentuk Jupiter maka diperlukan materi pembentuk yang berasal dari kedalaman dimana kerapatannya sama dengan kerapatan rata-rata matahari dan temperatur sekitar 106 K. Tapi jika harga temperatur ini dipakai dalam persamaan untuk massa kritis jeans, maka massa minimum Jupiter menjadi 100 kali massa Jupiter saat ini
Hipotesis Planetisimal
Hipotesis planetisimal pertama kali dikemukakan oleh Thomas C. Chamberlin dan Forest R. Moulton pada tahun 1900. Hipotesis planetisimal mengatakan bahwa Tata Surya kita terbentuk akibat adanya bintang lain yang lewat cukup dekat dengan matahari, pada masa awal pembentukan matahari. Kedekatan tersebut menyebabkan terjadinya tonjolan pada permukaan matahari, dan bersama proses internal matahari, menarik materi berulang kali dari matahari. Efek gravitasi bintang mengakibatkan terbentuknya dua lengan spiral yang memanjang dari matahari. Sementara sebagian besar materi tertarik kembali, sebagian lain akan tetap di orbit, mendingin dan memadat, dan menjadi benda-benda berukuran kecil yang mereka sebut planetisimal dan beberapa yang besar sebagai protoplanet. Objek-objek tersebut bertabrakan dari waktu ke waktu dan membentuk planet dan bulan, sementara sisa-sisa materi lainnya menjadi komet dan asteroid.
Hipotesis Pasang Surut Bintang
Hipotesis pasang surut bintang pertama kali dikemukakan oleh James Jeans pada tahun 1917. Planet dianggap terbentuk karena mendekatnya bintang lain kepada matahari. Keadaan yang hampir bertabrakan menyebabkan tertariknya sejumlah besar materi dari matahari dan bintang lain tersebut oleh gaya pasang surut bersama mereka, yang kemudian terkondensasi menjadi planet. Namun astronom Harold Jeffreys tahun 1929 membantah bahwa tabrakan yang sedemikian itu hampir tidak mungkin terjadi. Demikian pula astronom Henry Norris Russell mengemukakan keberatannya atas hipotesis tersebut.
Hipotesis Kondensasi
Hipotesis kondensasi mulanya dikemukakan oleh astronom Belanda yang bernama G.P. Kuiper (1905-1973) pada tahun 1950. Hipotesis kondensasi menjelaskan bahwa Tata Surya terbentuk dari bola kabut raksasa yang berputar membentuk cakram raksasa.
Hipotesis Bintang Kembar
Hipotesis bintang kembar awalnya dikemukakan oleh Fred Hoyle (1915-2001) pada tahun 1956. Hipotesis mengemukakan bahwa dahulunya Tata Surya kita berupa dua bintang yang hampir sama ukurannya dan berdekatan yang salah satunya meledak meninggalkan serpihan-serpihan kecil. Serpihan itu terperangkap oleh gravitasi bintang yang tidak meledak dan mulai mengelilinginya.
Beberapa Teori Paska Kemunculan Teori Newton
Kemunculan Newton dengan teori gravitasinya menjadi dasar yang kuat dalam menciptakan teori ilmiah pembentukan Tata Surya. Dalam artikel ini akan dibahas teori pembentukan Tata Surya yang lahir sesudah era Newton sampai akhir abad ke-19. Perkembangan teori pembentukan Tata Surya sampai dengan tahun 1960 terbagi dalam dua kelompok pemikiran yakni teori monistik yang menyatakan bahwa matahari dan planet berasal dari materi yang sama. Dan yang kedua teori dualistik menyatakan matahari dan bumi berasal dari sumber materi yang berbeda dan terbetuk pada waktu yang berbeda.
Teori Komet Buffon
Tahun 1745, George comte de Buffon (1701-1788) dari Perancis mempostulatkan teori dualistik dan katastrofi yang menyatakan bahwa tabrakan komet dengan permukaan matahari menyebabkan materi matahari terlontar dan membentuk planet pada jarak yang berbeda. Kelemahannya Buffon tidak bisa menjelaskan asal komet. Ia hanya mengasumsikan bahwa komet jauh lebih masif dari kenyataannya.
Teori Nebula Laplace
Ada beberapa teori yang menginspirasi terbentuknya teori Laplace, dimulai dari filsuf Perancis, Renè Descartes (1596-1650) yang percaya bahwa angkasa terisi oleh “fluida alam semesta†dan planet terbentuk dalam pusaran air. Sayangnya teori ini tidak didukung dasar ilmiah.
Seratus tahun kemudian Immanuel Kant (1724-1804) menunjukkan adanya awan gas yang berkontraksi dibawah pengaruh gravitasi sehingga awan tersebut menjadi pipih. Ide ini didasarkan dari teori pusaran Descartes tapi fluidanya berubah menjadi gas. Setelah adanya teleskop, William Herschel (1738-1822) mengamati adanya nebula yang ia asumsikan sebagai kumpulan bintang yang gagal. Tahun 1791, ia melihat bintang tunggal yang dikelilingi halo yang terang. Hal inilah yang memberinya kesimpulan bahwa bintang terbentuk dari nebula dan halo merupakan sisa nebula.
Dari teori-teori ini Pierre Laplace (1749-1827) menyatakan adanya awan gas dan debu yang berputar pelan dan mengalami keruntuhan akibat gravitasi. Pada saat keruntuhan, momentum sudut dipertahankan melalui putaran yang dipercepat sehingga terjadi pemipihan. Selama kontraksi ada materi yang tertinggal kedalam bentuk piringan sementara pusat massa terus berkontraksi. Materi yang terlepas kedalam piringan akan membentuk sejumlah cincin dan materi di dalam cincin akan mengelompok akibat adanya gravitasi. Kondensasi juga terjadi di setiap cincin yang menyebabkan terbentuknya sistem planet. Materi di dalam awan yang runtuh dan memiliki massa dominan akan membentuk matahari.
Namun menurut Clerk Maxwell (1831-1879) letak permasalahan teori ini cincin hanya bisa stabil jika terdiri dari partikel-partikel padat bukannya gas. Menurut Maxwell cincin tidak bisa berkondensasi menjadi planet karena gaya inersianya akan memisahkan bagian dalam dan luar cincin. Seandainya proses pemisahan bisa terlewati, massa cincin masih jauh lebih masif dibanding massa planet yang terbentuk.
Permasalahan lain muncul dari distribusi momentum sudut dimana tidak ada mekanisme tertentu yang bisa menjelaskan bahwa keberadaan materi dalam jumlah kecil, yang membentuk planet, bisa memiliki semua momentum sudutnya. Seharusnya sebagian besar momentum sudut berada di pusat objek. Jika momentum sudut intrinsik dari materi luar bisa membentuk planet, maka kondensasi pusat tidak mungkin runtuh untuk membentuk bintang,
Penyempurnaan Teori Laplace
Tahun 1854, Edouard Roche (1820-1883) mengatakan bahwa awan yang diajukan Laplace dalam teorinya bisa memiliki kondensasi pusat yang tinggi sehingga sebagian besar massa berada dekat spin axis dan memiliki kaitan yang kecil dengan momentum angular. Tahun 1873, Roche menyempurnakan teori Laplace dengan analisis “Matahari ditambah atmosfer, yang memiliki kondensasi pusat yang tinggi. Model ini berada diluar rentang planet dan mengalami keruntuhan saat mendingin. Dalam model ini atmosfer berkorotasi terhadap matahari. Saat sistem mengalami keruntuhan kecepatan sudut bertambah untuk mempertahankan momentum sudut sementara jarak mengecil. Jika jarak mengecil lebih cepat dari radius efektif atmosfer, maka semua atmosfer diluar jarak akan membentuk cincin.
Keberatan dari James Jeans (1877-1946). Ia menunjukkan dengan distribusi nebula yang diberikan oleh Roche, materi luar akan menjadi renggang sehingga tidak dapat melawan gaya pasang surut terhadap pusat massanya dan kondensasi tidak akan terjadi. Jeans juga mennunjukkan bahwa untuk materi di dalam cincin yang mengalir dari nebula yang runtuh menuju kondensasi membutuhkan kerapatan yang lebih besar dari kerapatan sistem. Hal ini akan menghasilkan massa atmosfer dengan magnitudo mendekati magnitudo di pusat massa, sehingga bisa menyelesaikan permasalahan momentum sudut
Sumber :
1. The Origin and Evolution of the Solar System (M. M. Woolfson)
2. Wikipedia
3. The Origin of Solar System http://nineplanets.org/origin.html
4. Berbagai sumber lainnya
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar