Senin, 04 November 2013



The weak will always hurt those weaker than them
Are the only choices available to bear it or die?
No, the world you live in is not so limited
If you’re stuck in a difficult situation,
it’s okay to retreat to somewhere safer
‘Pop’
Can’t you hear that?
The sound of something important to you disappearing..
.The Sound of Losing:.
Mizuki Kitahara. Namaku, Mizuki Kitahara. Kau bisa memanggil nama depan atau belakang. Karena aku tidak mempermasalahkan itu. Setiap liburan, aku selalu membantu sensei menyiram bunga dan merawat binatang. Karena aku, sangat menyukai sekolah. Aku menyukai untuk menghapus papan tulis yang kotor, aku menyukai setiap pelajaran yang diberikan, aku menyukai teman-teman dan tawa yang memenuhi kelas, aku suka perasaan bangga ketika ada yang memuji pekerjaanku. Perasaan senang ketika liburan tiba, perasaan sedih ketika harus berpisah. Aku menyukai semuanya.
Setidaknya itulah perasaan yang kuingat saat masih di taman kanak-kanak.
Seiring berjalannya waktu. Semua orang mulai berubah, semuanya berubah, aku pun berubah. Sekolah yang semula menyenangkan kini hanya menciptakan persaingan, di elementary school ketika kau mendapati nilai yang tinggi maka akan ada pujian. Namun bersamaan dengan itu terarah tatapan tajam dari yang lain. Orang pintar yang disuka namun dibenci.
Sejak saat itu, aku tidak lagi…
menyukai sekolah.
Satu hal yang masih kusuka dan tidak berubah adalah musim semi, aku menyukai baunya, aku menyukai setiap bunga yang mekar atau burung yang berkicau. Seandainya setiap hari, hanyalah musim semi.
Cerpen The Sound of Losing
Spring is a season when everything bursts into life.
The flowers, the trees, the grass, the birds and even people.
Namun, di musim semi kali ini.
“Kaia! Kaia!”
Kaia mati, seekor kucing pemberian mendiang ibu yang sudah seperti bagian keluarga kami. Aku hanya tinggal berdua dengan ayah. Maka kehadiran Kaia sangat memberi pengaruh. Aku tidak mengerti penyebabnya, seingatku Kaia dalam kondisi baik sesaat lalu hingga akhirnya terkapar begitu saja di beranda rumahku. Aku hanya menangis memeluk tubuhnya yang dingin dan kaku. Hingga akhirnya orang itu…
“Menakjubkan bukan?”
Datang tiba-tiba dan menjelaskan semuanya, kebenaran di balik kematian Kaia akibat mesin eksekusi yang dirancangnya. Shuuya Watanabe, menjelaskan semua hal menyeramkan dengan tanpa sedikit pun rasa bersalah. Sama sekali, seperti tidak mengerti bahwa orang di depannya adalah pemilik dari kucing yang dia bunuh dengan sadis.
“Kitahara, can’t you hear that? The sound of something important to you disappearing” ujarnya lagi kemudian pergi.
Padahal saat itu, aku melihatnya. Aku melihatnya dengan jelas, Shuuya empat tahun yang berlari dengan air mata, Shuuya kecil yang mengejar Ibunya. Shuuya yang terlihat lemah dan menyedihkan.
Was the little boy who ran away crying really the same person who talked tough infront of me now?
Orang itu… useless.
Shuuya Watanabe, ketika kau melihatnya sekali, kau tidak akan menemukan bahwa orang itu bermain dengan banyak masalah. Tapi di dalamnya, eksekusi mesin yang ia ciptakan, pembunuhan dan penganiayaan terhadap binatang yang dilakukannya secara berulang.
Karena aku sering mengeceknya, blog Watanabe tentang penemuan yang dibuatnya sendiri. Ia merancangnya, mencoba pada binatang kemudian dengan bangga memposting hasilnya berikut gambar dan secara detail mengenai gejala-gejala. Aku hanya melihat seperti ada monster kejam dalam diri Shuuya.
Hingga di Junior High school, ia semakin gila dengan mencoba penemuannya pada manusia bernyawa. Pada seluruh anggota keluarganya. Berikut teman yang terjebak dengannya, Naoki. Si bodoh yang mendapat tekanan mental hebat hingga tidak bisa lagi melanjutkan sekolah. Si bodoh yang berkeras ingin menjalin persahabatan dengan Shuuya, ia mengagumi sosok Shuuya yang pintar dan tenang, karena tidak pernah gusar meski tak memiliki teman. Meski pada akhirnya ia hancur di tangan orang yang dikaguminya sendiri.
Shuuya, semua mengenalnya sebagai orang menakjubkan. Superior, IQ di atas rata-rata. Berbagai penemuan dan olimpiade yang dimenangkannya. Namun, semua penemuannya, semua yang dirancangnya meski publik mengatakan untuk keamanan dan perlindungan bagi manusia atau alat agar orang jahat tidak bisa menyentuhmu. Semuanya itu, sebagai orang yang mengenalnya begitu lama, hanya terlihat seperti mesin eksekusi yang dimodifikasi.
Seperti yang ku bilang di awal tentang orang pintar yang disukai namun merekalah yang dibenci, tapi kukira alasan semua orang tidak mau terlibat dengannya adalah, karena Shuuya yang menutup dirinya. Ia merasa semua orang adalah bodoh, sampah dan tidak pantas untuknya. Itu pulalah alasan darinya mengenai pembunuhan brutal pada anggota keluarganya yang kubaca di blog pribadinya.
Ibu pergi ketika aku masih berumur empat tahun. Kemudian ayahku yang bodoh menikah lagi. In perfect accordance with natural law bahwa orang baik akan bersatu dengan yang baik, orang jahat akan bersama yang jahat begitu pula dengan orang bodoh tentu bersatu dengan yang bodoh lagi. Kemudian melahirkan anak yang bodoh pula, keluargaku kini terlihat seperti sekumpulan orang bodoh. Orang bodoh yang tidak akan mengerti kejeniusanku, maka aku membiarkan mereka bahagia dan menarik diri seperti monster.
Dan tidak lama kemudian, satu lagi orang bodoh datang, (Ini jelas tentang Naoki) mengganggu. Aku tidak butuh orang bodoh, maka aku menyingkirkan semuanya. Ini hanyalah pembataian kecil dan Juvenile law akan melindungiku, itulah alasanku atas semua yang ku perbuat.
Media massa gempar, mereka membuatnya menjadi cerita besar menyeramkan. Tentu tidak diperlihatkan identitas tentang tersangkanya, atau bagaimana latar belakang dan sekolah tempatnya belajar. Sebagai bentuk perlindungan terhadap tersangka anak di bawah umur, meski sama sekali kurasa Shuuya tak butuh itu. Karena sebagai orang yang mencolok, rumor merebak cepat dan seluruh kelas mengetahui semua itu adalah perbuatan Shuuya.
Hukuman yang diberikan pengadilan hanyalah, untuk Shuuya menulis beberapa kata penyesalan kemudian diucapkan, serta berjanji tidak akan mengulanginya. Nampaknya rencana Shuuya berjalan sesuai, sesuai dengan harapannya. Juvenile law benar-benar melindunginya.
Di sini, di Jepang. Kami mengenal keringanan hukum untuk tersangka anak di bawah umur. Sebrutal apapun perbuatan yang dilakukan, berapa besar pun merugikan yang lain. Tidak akan ada hukuman berat untuk tersangka jika umurnya masih di bawah 14 tahun.
Menyenangkan, bukan? Kau bisa membunuh dan menyakiti siapa pun, menggunakan apapun, kapan pun, dengan alasan apa pun. Kau bisa gunakan tongkat base ball mu, pisau di rumahmu atau bahkan hanya tangan kosong. Dan kau tak akan mendapatkan hukuman berat karenanya.
Hal yang paling membuat kami tertegun setelah semua adalah, setelah kejadian besar menyeramkan yang terjadi. Shuuya tetap datang ke sekolah, menjalani kehidupannya seolah tak terjadi apa-apa. Sama sekali, tidak terlihat penyesalan dalam atas apa yang dilakukannya.
Dengan normal, tidak ada yang menyukai seorang pembunuh. Maka di awal Maret hukuman terhadap Shuuya berlangsung atau bisa kau bilang bullying, tapi kadarnya lebih tinggi. Karena semua orang bergerak, mulai dari merusak dan membuang barang-barangnya, mencoret bangku dan mejanya, memasukkan sampah di lokernya dan semua hal yang mungkin membuat Shuuya terganggu.
Bahkan, saat istirahat dan olahraga mungkin seperti neraka baginya, semua orang berlomba untuk menyakiti dengan alasan membuatnya jera. Kau akan lebih bahagia ketika melempar bola ke kepalanya dari pada ke dalam ring, kau akan lebih serius untuk mencari dan menabraknya atau menendangnya hingga jatuh dari pada mengejar bola itu sendiri.
Kemenangan mutlak untuk menyakiti dan menghukum seorang pembunuh. Katanya semakin kau menyakiti pembunuh, kau adalah orang baik yang peduli pada kesejahteraan manusia.
Menyaksikan itu semua, terjadi berulang di setiap hari. Kupikir mereka semua tidak berbeda dari seorang pengecut, pengecut yang dibayangi rasa takut akan hidup dengan kisah menyeramkan.
Orang-orang seperti itu…
Useless…
Seperti sampah,
Kau tak bisa mengatakan bahwa ia sampah, namun ketika kau membuangnya di tempat yang benar maka ia akan tahu bahwa dirinya hanyalah sampah.
Satu hal yang aku lakukan hanyalah, menyadarkan orang bodoh bahwa dirinya bodoh.
Kemudian pada bulan Juli, seorang guru yang tidak mengetahui apa-apa. Memarahi kelas karena kejadian bully terhadap Shuuya. Semua yang dikatakannya, hanya seperti kata-kata tak berguna yang membuat semua hal bahkan, tidak sama sekali berjalan lebih baik.
“Saya mendapat laporan bahwa di kelas ini ada bulying yang dilakukan terhadap Shuuya Watanabe” ujarnya seolah tahu apa yang sesungguhnya terjadi “Saya rasa ini adalah kecemburuan karena Shuuya yang selalu mendapat predikat siswa terpintar setiap tahun”
Semua yang dikatakannya sama sekali salah.
“Kepintaran Shuuya hanyalah kemampuan individu yang unik. Kalian pun sama, kalian punya kemampuan individu juga!”
Kemampuan Individu untuk menyakiti yang lebih lemah darimu..
Kemampuan Individu untuk melupakan hal yang tidak ingin kau hadapi..
“Aku menunggu kalian, tunjukan padaku kemampuan individu yang kalian miliki, dengan usaha yang benar”
Setelah itu, bully malah menjadi semakin brutal. Bahkan tidak hanya menyerang Shuuya. Tapi semua yang tidak ikut menghukum, mendapat bully juga karena dianggap bersekongkol dengannya. Aku tidak begitu peduli dengan para korban juga para tersangka, aku hanya terganggu dengan kelas yang tidak punya ketenangan sama sekali.
Kemudian di akhir Juli, Shuuya menjadi sangat menyeramkan. Ia yang selama ini hanya diam atas perlakuan buruk terhadapnya, kini menyerang tiga orang di kelas yang paling parah menyiksanya. Ketiga orang itu sempat dirawat untuk beberapa minggu dan kemudian pindah sekolah. Shuuya mengancam bahwa ia akan mencoba eksekusi mesinnya pada semua orang di kelas jika mereka tetap berbuat hal buruk padanya.
Semua orang takut, mereka bahkan tidak melaporkan kejadian ini pada siapa pun. Hingga pada bulan Agustus, tidak ada lagi yang berani menyerang Shuuya.
Aku tidak menyangka bahwa orang-orang bodoh itu sebegitu takutnya terhadap kematian, padahal sebagian besar dari mereka sering mengatakan ingin mati dengan begitu mudahnya.
Mereka mengumpat kasar tentang ketidakmengertianku akan berharganya kehidupan. Lantas bagaimana dengannya? Orang yang menghabiskan waktu terobsesi untuk menikah dengan Johnny’s Jr, kemudian terjebak dalam mimpi semu dan dunia kecil yang dibuatnya sendiri. Atau mereka yang berharap bisa bergabung dan memimpin yakuza. Menyedihkan.
Jika aku benar-benar ingin menyingkirkan seseorang, maka aku akan melakukannya
dengan kemampuan dan tanganku sendiri.
Akhir Agustus, Shuuya menghilang. Tidak ada satupun kabar darinya. Namun tak seorang pun yang terlihat khawatir atau mencarinya. Melihat blog Shuuya yang masih terus diperbaharui, aku hanya yakin bahwa ia masih hidup.
Suasana kelas tidak jauh berbeda, hanya mungkin terlihat lebih ceria dari biasanya. Mungkin karena perasaan takut mereka hilang atau karena ingin menyembunyikan semua kenyataan lalu dan menguburnya dalam-dalam untuk menganggapnya sebagai mimpi yang tak pernah terjadi di kehidupan nyata. Kenyataan bahwa kami memiliki seorang pembunuh sadis di kelas memang cukup membuat tidak nyaman.
Hingga saat ini, aku tidak pernah melihatnya lagi. Bahkan mendengar sedikit pun kabarnya, dan blog dirinya pun sudah lama menghilang. Semua orang melupakannya segera, setiap hal yang berhubungan dengan Shuuya Watanabe, tak ada yang mengungkitnya lagi. Aku ragu jika mereka benar-benar amnesia. Itu mungkin cara untuk menghindari hal yang mereka tak mau mengingatnya.
Mungkin Shuuya tengah merestart kehidupannya dari awal atau ia memang telah benar-benar tidak lagi di dunia. Semakin lama, aku hanya berpikir apakah orang bernama Shuuya benar-benar pernah ada. Seiring berjalannya waktu, jika tetap tak ada yang berbicara tentangnya. Kurasa Shuuya Watanabe akan hilang begitu saja, baik di kehidupan nyata atau bahkan di masa lalu kami yang pernah berinteraksi dengannya.
Shuuya Watanabe, orang yang begitu ingin menyingkirkan semua orang. Tanpa sadar, ia telah menyingkirkan dirinya sendiri.
‘Pop’
I heard it too…
The sound of something important to you disappearing.


Tahun pertama
Aku disini. Duduk di bawah batang pohon bunga Sakura dengan mahkota bunganya yang berwarna putih. Terbayang wajahmu, yang sekarang entah dimana.
Angin musim semi berhembus. Membuat ranting-ranting pohon itu bergoyang. Hanya hembusan pelan, tapi beberapa kelopak bunga Sakura terlepas dari rantingnya. Melayang-layang, sebelum akhirnya jatuh tepat di pangkuanku. Musim semi yang sama dengan tahun lalu. Tapi terasa berbeda tanpa adanya kau.
Teringat musim semi terakhir yang kita rayakan bersama. Disini. Di bawah pohon bunga Sakura ini. Dengan perasaan bahagia, merayakan hari kelulusan kita berdua.
Satu tahun berlalu, tapi aku masih ingat betul kejadian malam itu. Ditengah perasaan suka cita, kau bilang padaku akan pergi ke tempat yang jauh.
Bahkan aku masih mengingat angin musim semi yang berhembus kala itu. Hening setelah kau berkata tadi. Hening yang tidak pernah muncul sejak kita berdua menjadi sepasang sahabat. Ingin sekali aku menangis dan berkata apapun untuk mencegahmu pergi. Tapi aku tidak bisa. Itu pilihanmu.
“Aku akan menemuimu lagi, tepat saat masih ada bunga Sakura warna putih di pohon ini.” Kau menghapus butiran bening yang terlanjur berguguran dari mataku. Saat itu aku hanya bisa mengangguk.
“Ashita ne.” Kau dan aku. Kita mengucapkan itu sebagai salam perpisahan. Meski aku tidak tau, besok seperti apa yang akan mempertemukan kita.
Tahun kedua.
“Pesawat kertas itu akan terbang jauh. Membelah cakrawala. Membawa serta mimpi kita yang tertulis disana,” katamu.
Musim semi kesekian yang kita habiskan sebagai sepasang sahabat. Kita sedang duduk bersama di bawah pohon bunga Sakura putih ini. Pertengahan musim semi. Bunga-bunga Sakura sedang tumbuh subur menyelimuti pohon yang selama tiga musim lainnya selalu meranggas. Memandang lembah yang jauh dari atas bukit, tempat pohon Sakura ini tumbuh.
Masih teringat ucapanmu, saat kita baru saja menerbangkan masing-masing satu pesawat kertas. Kau bilang, semua mimpi yang kutulis disana akan terkabul.
Dan di dunia ini, aku hanya punya satu mimpi. ‘Aku ingin berada di sampingmu Selamanya.’
Tapi tidak seperti katamu tadi, angin musim semi tidak mengabulkan permintaanku.
Tahun kedua. Dan kau belum juga kembali.
Tahun ketiga.
Bunga-bunga Sakura bermekaran, lalu gugur. Persis seperti anganku untuk bertemu denganmu yang mekar di awal April, lalu rontok berguguran di akhir bulan. Habis tak tersisa bersamaan dengan Sakura putih yang terus menerus rontok tak berhenti. Kini bunga-bunga itu hanya meninggalkan sebatang pohon kering. Pohon itu harus menunggu tiga musim lagi untuk dapat mekar. Bersamaan dengan mekarnya harapku untukmu.
Sekali lagi, berada di tempat ini membuatku kembali teringat denganmu. Saat pertemuan pertama kita. Kau ingat?
Awal musim semi. Bunga-bunga sudah mulai bermekaran di seluruh Jepang, tapi tidak dengan bunga Sakura. Masih beberapa minggu lagi untuk pohon itu memekarkan bunga-bunganya yang indah.
Pertemuan pertama kita 10 tahun yang lalu. Musim semi pertamaku di kota indah ini, Nagano.
Aku berjalan riang menuju sebuah toko serba ada. Membawa daftar panjang belanjaan di tangan kanan, dan beberapa lembar uang Yen di tangan kiri. Kuncir dua rambut sepinggangku melambai. Dipermainkan angin.
Hari pertama kepindahanku ke kota ini, Nagano. Sebuah perfektur yang dilindungi ratusan gunung kekar dengan pemandangannya yang indah.
Ayah, ibu, dan aku, saat itu kami baru saja selesai menurunkan seluruh kardus barang-barang dari atas truk.
Kepindahan yang memlelahkan. Tadotsu—Nagano, lintas pulau Shikoku—Honsu. Masih banyak yang harus dilakukan, tapi matahari sudah harus tenggelam. Belum lagi ada beberapa benda yang harus dibeli. Dan saat itulah aku menawarkan diri untuk berbelanja.
Awalnya ayah dan ibu sangsi, melihatku yang hendak berbelanja seorang diri. Tapi demi melihat kesungguhanku, maka berangkatlah aku yang kala itu masih berusia 10 tahun. Seorang diri menuju sebuah toko yang telah ditunjukan ibu sebelumnya.
Belanja ternyata mudah, itulah yang ada dipikiranku saat hampir semua barang dicatatan sudah berpindah ke dalam keranjang belanjaan. Bagaimana tidak? Aku hanya perlu mengambil barang yang ada didaftar, lalu memasukkannya ke dalam keranjang. Setelah itu, beres!
Di catatan belanjaanku hanya tinggal satu barang lagi, sebungkus roti gandum.
Aha, itu dia, aku memekik dalam hati saat melihat barang terakhir itu tersandar disalah satu rak toko. Tinggal satu bungkus.
Saat itulah aku pertama kali melihat mata abu-abumu. Tapi sayang, tidak dengan situasi yang menyenangkan.
Kau pasti selalu tertawa jika kita mengingat kejadian ini.
Kita berdua berebut roti gandum terakhir tadi.
Akhirnya setelah paman pemilik toko itu turun tangan, Akulah yang berhak mendapat roti gandum terakhir.
Kau merengut. Kesal. Pipi bulatmu terlihat sangat menggemaskan kala itu.
Aku tersenyum. Puas.
Saat berjalan riang keluar dari toko serba ada itu, aku baru menyadari sebuah masalah.
CELAKA!!! Aku lupa jalan pulang!!
Aku sudah melupakan kantung belanjaan saat itu. Menangis tersedu di bawah temaram lampu jalan trotoar yang menghiasi malam.
Dan disaat itulah kau muncul.
Angin musim semi mempermainkan rambut cokelat tuamu. Lensa mata kelabumu terlihat berkilat-kilat diterpa temaram lampu jalan. Ah, bahkan saat berusia 10 tahun saja kau sudah tampak mempesona.
Sempat aku berfikir, kau akan meledekku yang sedang menangis ini. Atau paling tidak kau berpura-pura tidak melihatku. Karena bagaimanapun akibat akulah kau tidak mendapatkan roti gandum terakhir tadi.
Tapi tidak. Kau malah berjongkok di sampingku. Bertanya mengapa aku menangis. Dan disaat aku menceritakan masalahku, kau berbaik hati menemaniku menghabiskan malam.
Berjanji mengantarku pulang — nanti — saat matahari sudah muncul.
Duduk di bawah pohon Sakura berkelopak putih yang saat itu bunganya belum bermekaran.
Pertemuan pertama kita. Aku tidak pernah menduga, ternyata setelah itu masih banyak pertemuan-pertemuan kita yang lainnya.
Tahun keempat
Aku ingin menjadi sesuatu yang berharga dalam hidupmu.
“Aku ingin seperti bunga Sakura,” ucapmu padakku.
Saat itu entah sudah musim semi keberapa yang kita habiskan bersama. Usia kita sama-sama 15 tahun. Dengan pohon bunga Sakura putih itu yang masih setia menemani persahabatan kita.
Aku menoleh, bingung. “Mengapa? Bukankah jika kita seperti bunga Sakura, hidup kita tidak akan bertahan lama?”
Saat itulah kau tersenyum. Sebuah taring kanan atasmu yang sedikit maju terlihat. Gingsul membuat senyumu semakin manis. “Memang.”
“Lalu, mengapa kau masih ingin menjadi seperti bunga Sakura?”
“Karena kau tau? Meski bunga Sakura hanya berumur pendek tapi kehidupannya benar-benar berharga.” Sekelopak bunga Sakura mendarat tepat di atas pangkuanmu. Kau memungutnya, lalu menunjukannya padaku. “Lihat! Bunga ini memang kecil, tapi harga pelajaran yang diberikannya itu sangatlah besar.”
Aku ikut memperhatikan bunga yang kau pungut itu.
“Seperti katamu tadi, bunga Sakura memang hanya berumur pendek. Tapi dibalik itu semua Tuhan menciptakan bunga kecil indah ini berumur pendek bukan tanpa alasan. Dibalik kelopaknya yang kecil nan rapuh dan hidupnya yang singkat, dia mengingatkan kita tentang hidup yang hanya sebentar.”
Aku memandangmu. Takjub.
“Selain itu, bunga ini juga mengajarkan kita kesabaran. Kau tau berapa lama bunga Sakura mekar sebelum akhirnya gugur?” aku mengangguk untuk pertanyaan itu. “Tidak lebih lama dari satu bulan. Sedangkan dia menunggu untuk dapat mekar selama lebih dari tiga musim.”
Sekelopak bunga Sakura gugur diatas pangkuanku.
Aku ingin menjadi sesuatu yang berharga dalam hidupmu.
Dan saat itulah aku memutuskan untuk menjadi bunga Sakuramu.
Tahun kelima
Ah… tidak terasa sudah lima tahun aku menghabiskan musim semi disini tanpa dirimu.
Sekelopak bunga Sakura dengan mahkota warna putih terlepas dari ranting pohon yang menaunginya. Angin musim semi yang membuat kelopak bunga rapuh itu terjatuh. Angin yang sama yang membelai rambut sebahu milikku saat ini, yang membuatku semakin teringat dengamu.
Ah ya, aku teringat saat hari kelulsan. Siang di hari yang sama dengan malam perpisahan yang menyakitkan itu.
Kau duduk di bangku taman halaman sekolah. Menatap hiruk pikuk teman-teman yang saling mengucapkan salam perpisahan. Awal April. Baru sedikit kelopak bunga Sakura yang mekar Aku menghampirimu.
Kita duduk bersisian. Angin musim semi membelai rambut pirangku. Seakan berbisik, inilah waktu yang tepat. Aku akan mengungkapkan perasaan ini padamu.
Ya, karena aku mencintaimu, sahabatku.
Oke, ini memang terdengar klise. Persahabatan yang kemudian berubah menjadi cinta. Jika mereka memiliki perasaan yang sama, maka jadilah sepasang kekasih. Tapi biasanya cerita cinta seperti ini tidak akan berlangsung lama. Salah satu dari mereka pasti akan menyadari lebih baik menjadi sahabat daripada kekasih. Atau jika salah satu dari mereka tidak memiliki perasaan yang sama, maka hancurlah persahabatan itu.
Tapi peduli setan dengan itu semua! Aku tetap akan menyatakan perasaanku.
“Nanti malam. Pukul tujuh. Seperti biasa.” Kau bicara mendahuluiku.
Aku kembali menelan ucapanku yang hampir termuntahkan keluar.
Nanti malam. Pukul tujuh. Seperti biasa, aku tau persis maksud kalimatmu ini. Kau memintaku datang pukul tujuh malam ini, di bawah pohon bunga Sakura putih itu.
Lalu kau berdiri, tersenyum, sebelum meninggalkanku. Beberapa orang gadis baru saja memanggilmu untuk berfoto bersama.
Memintamu. Bukan memintaku. Padahal mereka sama-sama teman sekelas kita.
Ya… kau sahabatku, pemuda popular dan tampan. Tidak seperti aku gadis kuper dan kutu buku.
Angin musim semi berhembus. Menerbangkan potongan-potongan kalimat yang barusaha hendak aku muntahkan di hadapanmu.
Tidak kali ini.
Mungkin nanti malam.
Tahun keenam
Sejujurnya aku tidak tau persis, kapan perasaan seperti ini pertama kali muncul. Yang jelas musim semi satu tahun sebelum kelulusan, saat para gadis pemujamu itu datang berbondong-bondong menggerubungi kita. Aku yang sedang duduk di taman bersamamu, harus terusir karena kerumunan gadis-gadis itu.
Saat itulah perasaan aneh muncul. Perasaan aneh yang bahkan tidak bisa dijelaskan oleh seseorang yang memiliki IQ 150 sepertiku. Perasaan yang tidak bisa dijelaskan dengan logika. Bahkan perasaan itu tidak ada dalam rumus di buku Fisika atau Matematika manapun. Percampuran perasaan marah, kesal, iri.
Marah. Aku marah, karena mereka mengusirku bergitu saja.
Kesal. Entah kenapa hati kecilku seakan berkata, kau milikku dan bukan mereka!
Iri. Tapi di waktu yang sama aku juga sadar. Mereka jauh lebih cantik dan popular dariku. Dan pastinya kau yang tampan akan lebih memilih mereka dibanding aku yang kutu buku ini.
Tapi aku salah.
Keesokan harinya. Bunga Sakura warna putih mekar di atas bukit tempat kita menghabiskan waktu bersama. Sepanjang petemuan kita sore itu, kau terus bercerita tentang ketidaksukaanmu pada gadis-gadis itu. Kau bilang benci jika harus berada dekat dengan para gadis.
“Apakah kau juga benci berada di dekatku?” Kau menoleh. Seakan baru sadar, aku sebagai sahabatmu, yang saat ini duduk bersebelahan dengan kau, juga adalah seorang gadis.
“Tidak.” Kau diam sesaat. Tapi kalimatmu selanjutnya seakan menjadi pintu gerbangku menuju perasaan itu. “Karena kau special.”
Tahun ketujuh
Ah… sekali lagi aku hanya bisa menghela nafas.
Awal musim semi tahun ketujuh tanpamu. Aku disini, di bawah pohon Sakura dengan daun yang tumbuh rimbun, tanpa bunganya yang berwarna putih. Masih beberapa hari lagi untuk bunga-bunga putih itu bermekaran.
Kau tau? Musim semi menumbuhkan dua buah perasaan yang bertolak belakang di hatiku. Senang, sekaligus takut.
Aku senang. Jelas. Karena disaat bunga-bunga Sakura itu bermekaran, disaat itu pulalah bunga anganku untu bertemu denganmu juga mekar.
Tapi aku juga takut. Takut sekali jika ternyata perasaanku hanya bertepuk sebelah tangan. Perasaan cinta ini, hanya aku yang merasakannya.
Aku takut. Selama tujuh tahun menunggumu disini, hanya hampa yang menyapaku saat kau kembali. Hampa karena saat itu aku tau, kau tak lagi bisa kugapai. Karena sudah ada orang lain di hatimu. Aku lebih senang menunggu tanpa kepastian darimu. Setidaknya dengan begitu aku masih bisa berharap denganmu.
Bertahun-tahun bersahabat dengan kau, tak pernah ada gadis lain yang dekat denganmu selain aku. Dekat saja tidak ada, apalagi menjadi kekasih. Membuat benih harapan langsung saja tumbuh subur di hatiku. Setidaknya aku masih bisa bermimpi untuk menjadi kekasihmu.
Tapi akankah mimpi itu masih ada jika kau kembali?
Tahun kesepuluh
Apakah kau masih ingat denganku?
Tidak terasa ya… sudah sepuluh tahun sejak kau pergi. Sudah sepuluh tahun pula aku menghabiskan musim semi yang selalu indah ini, hanya dengan duduk di bawah pohon Sakura putih. Menunggu janjimu yang akan datang saat masih ada kelopak bunga putih di pohon ini.
Tapi anganku seakan pupus begitu saja. Hanya tinggal satu kelopak bunga Sakura lagi yang menggantung di ujung pohon itu. Aku tau, satu tarikan nafas dari tuan angin akan menggugurkannya. Dan saat itulah, anganku untuk bertemu dengamu tahun ini juga gugur.
Waktu terus berputar, membiarkanku yang seakan terus menunggu tanpa akhir. Jingga sudah membungkus cakrawala. Kelopak terakhir bunga Sakura itu masih mengayun-ayun lembut dipermainkan angin. Belum melayang-layang jatuh.
Aku bangkit dari dudukku. Menghela nafas, lalu mendongak ke arah kelopak terakhir bunga yang masih mengayun di atas pohon itu.
Mungkin bukan tahun ini. Aku berbalik, hendak pergi. Berharap tahun depan masih ada bunga Sakura putih dan angin musim semi di tempat ini.
“Ayame!!!”
Jantungku berhenti berdetak saat itu juga.
Suara itu. Meski sudah sepuluh tahun tidak mendengarnya, suara itu masih terdengar sama. Serak. Basah. Menyenangkan.
“Aoyama!!!” aku berbalik, lalu menghambur ke arahmu. Ternyata kau menepati janjimu. Kau muncul tepat saat kelopak terakhir Sakura putih itu masih menempel di pohonnya
Kristal bening berguguran dari pelupuk mataku. Sedih. Senang. Terharu. Semua menjadi satu. Aku menangis dalam bahumu. Kau membelai rambutku lembut, selembut angin musim semi.
“Gomen aku telah mengingkari janjiku dulu.”
“Tidak.” Aku menggeleng. Membuat Kristal bening lain gugur dari bola mataku. “Kau tetap menepati janjimu,” bisikku lirih.
Beberapa menit berlalu. Tangisku mereda. Kau melonggarkan sedikit pelukan di antara kita.
Saat itulah mata kelabumu menatap lensa hitam milikku. Ah… tatapan yang sejak dulu sudah memesonakan aku.
Setelah basa-basi sebentar, tiba-tiba kau berbicara. “Oh ya, aku mau kau berkenalan dengan seseorang.”
Deg. Seseorang? Siapa? Apakah salah satu gadis pemujamu saat SMA dulu? Atau ada gadis lain?
Ah, harusnya aku tidak berharap banyak darimu. Kau tampan. Pasti ada banyak gadis diluar sana yang berebut untuk jadi kekasihmu. Aku yakin sekali, gadis-gadis itu pasti sangatlah cantik—cocok berdampingan denganmu yang tampan.
“Siapa?” aku bertanya meski tidak ingin mendengar jawabannya.
Kau tersenyum. Lalu seorang pria berambut emas dipotong pedek muncul dari balik punggungmu. Tingginya sejajar dengan kau, dan itu artinya aku yang pendek ini harus mendongak demi melihat wajahnya lebih jelas. Ah… pria itu juga memiliki lesung pipi rupanya. Manis. Tapi tetap kalah manis dengan gingsul di gigimu itu.
Aku menghela nafas—sedikit—lega.
“Ryuu perkenalkan ini Ayame.”
Pemuda bernama Ryuu itu mengulurkan tangannya. “Jadi ini gadis yang kau ceritakan pernah berebut roti denganmu.” Tertawa. Kau juga.
Demi kesopanan aku tertawa.
“Ayame, perkenalkan ini Ryuu—” Aku menyambut uluran tangan kekar pemuda itu. Angin musim semi berhembus, menggugurkan kelopak bunga Sakura terakhir. Dan kalimatmu selanjutnya juga berhasil menggugurkan anganku. “Kekasihku…”
Aku kembali tertawa. Kini perih.
Jadi selama ini, aku menunggu dan mencintai seorang pria g*y?!
Dadaku sesak. Sungguh!! Masih jauh lebih baik ditolak, dibanding kenyataan bahwa seseorang yang dicintai ternyata g*y.
Dan saat itu aku berharap bumi menelanku bulat-bulat.


Saat malam benar-benar dingin karena tertiupnya angin malam yang mengenai pepohonan dan rumah-rumah semuanya bergerak senada dengan angin yang berhembus itu, orang-orang berlindung di balik selimut mereka yang hangat, kecuali pemuda berenampilan urakan dan kartu remi di tangan kanannya tak lupa mir*s di tangan kirinya,
“ya ane menang”
“huuu curang” jawab teman-teman pemuda itu
Perlahan pemuda itu jalan sempoyongan menuju rumahnya berwajah senang karena menang j*di. Tangannya yang kekar mengetuk pintu kayu nan rapuh
“buuu, buuu! Buuka pintuenya!”
“iya sebentarr, astgfirullah reyhan! Kamu j*di lagi nak?”
“iya buu gue menang banyak nih!”
“buang uang itu nak uhuukk.. Uhukkk… itu uang haram!”
“cerewet luu!!!” sambil mendorong keras wanita paruh baya itu
Reyhan pun masuk kamar di warnai rasa kesal dalam hatinya, membanting pintu kamar meluncur di atas ranjangnya yang berantakan. Dewi sangat tak menyangka anak yang telah ia kandung selama 9 bulan, rela mendorongnya hingga jatuh betapa durhakanya anak itu, belum lagi TBC yang menjadi mimpi buruk dewi.
Saat malam yang tak terlupakan telah terlewat berganti pagi, reyhan bangun tanpa membereskan tempat tidurnya, ia mencari makan bagai kucing sedang kelaparan, semua dapur di acaknya, reyhan marah-marah lantaran perut keroncongnya sudah mengamuk ingin diberi jatah.
“ibuuu, ibuuu!”
Tak ada satu jawaban pun yang terdengar di telinga reyhan, reyhan mulai kesal kakinya melangkah tajam menuju kamr ibunya.
“ibu, ibu nih gimana sih masa pagi-pagi gini gak ada sarapan?” makinya
Tetap tak ada respon,
“kalau ibu gak keluar reyhan dobrak nihh”
Karena udah terlalu lama mulutnya mengoceh sendiri pintu kamar ibunya berhasil didobrak, betapa kagetnya reyhan setelah melihat wanita yang melahirkannya terkulai lemas di atas ranjang, berkali-kali ia batuk mengeluarkan darah
“i… ibu kenapa?”
‘re, re, re, reyhan jadilah anak yang soleh bertakwa kepada allah, taati perintahnya jauhi larangannya ya nak!”
“ibu, ibuuuuu!”
Dewi meninggal dalam keadaan husnul khatimah 2 kalimat syahadat diucapnya saat skaratul maut. Reyhan segera memberi tahu tetangga bahwa ibunya telah menghembuskan nafas terakhir di saat pagi yang cerah ini, orang-orang berdatangan, dewi di semayamkan dekat kuburan ayahnya reyhan, joni.
Sejak saat kejadian itu reyhan berjanji akan merubah dirinya menjadi anak yang soleh, ia menjadi rajin solat dan mengaji, melupakan j*di yang menjadi hobinya, mencintai allah dan rasullnya, hingga saat dewasa ia menjadi ustad dan menikahi wanita solehah dan hidup bahagia dengan 2 anak.


“Cuci… cuci sendiri, makan… makan sendiri… ehei”
Nyanyiku terus-menerus, akhir-akhir ini banyak orang-orang yang memanggilku ke rumah mereka, untuk makan, tentu saja bukan, mereka hanya memintaku untuk mencucikan baju mereka, mudah-mudahan ini merupakan sebuah keuntungan, atau mungkin sebaliknya, ah terserahlah… yang penting aku masih bisa mendapatkan uang dan ucapan I love you [Aku mencintaimu] eh, hehe… keceplosan.
“Yang itu sudah selesai?” Tanya Mbak Karis salah satu orang yang memanggilku untuk mencuci baju, atau bisa dikatakan, salah satu pelangganku.
“Sedikit lagi” Jawabku sambil terus mencuci tumpukkan baju ini. Dengan gesit dan cekatan, kupercepat gerakanku, tak mau membuat Mbak Karis menunggu lebih lama lagi.
Keringat bercucuran di dahiku, segera ku lap dengan menggunakan punggung tanganku, senyum terukir di wajahku, akhirnya selesai juga, segera ku bangkit dari dudukku, kubersihkan tanganku dari sisa-sisa sabun, kubalikkan tubuhku menghadap Mbak Karis, dengan sopan kubungkukan badanku sesaat untuk berterima kasih, kulihat dia hanya tersenyum dan memberiku beberapa uang, segera kuambil, ini dia upahku, batinku.
Aku pun pamit pada Mbak Karis untuk segera ke rumah, lagi-lagi dia hanya tersenyum padaku, dia memang sangat baik bukan, segera kulangkahkan kakiku keluar dari rumahnya, dengan langkah bak waria maco, aku pun segera berlari menuju rumahku.
Siang ini matahari begitu menyengat, membuat orang-orang tak mau berlama-lama di luar, metode menjaga keputihan kulit hem… hah dasar orang Sukamara, tapi ternyata, masih ada orang-orang yang bermain di luar, itu pun cuma anak-anak sepertiku, dan sudah kuduga, mereka hitam.
Kicauan burung menyambutku saat aku sudah tepat berada di depan rumahku, membuatku semakin bersemangat untuk menjalani hari ini, tanpa basa-basi lagi akupun langsung… kentut, hehe, sudah tidak tahan dari tadi.
“Oh, Bagan… kau sudah pulang…” Ucap ayahku yang tiba-tiba muncul di belakangku, untung saja aku sudah selesai kentut.
“Eh…i.. iya” Ucapku dengan senyuman merekah, dengan tergesa-gesa kurogoh sakuku, mengambil upah cucian yang kudapat kemarin, tentu saja dengan tingkatan uang yang kencang, baru, rapi, berkilau, harum, elegan, hanya saja berwarna coklat buruk, jiahh… bagus bukan.
Segera kuberikan uang tersebut kepada ayahku, dia hanya tersenyum lembut dan secepat tuyul mengambil uang itu dari tanganku, subhanallah… dengan gaya yang lentik dan slow motion (Gerakan lambat) pula ah… membuatku ingin kentut saja.
Jika kalian bertanya kenapa aku tidak memberikan uang pendapatanku hari ini, syuut… diam saja. Mungkin karena melihat gelagatku yang mencurigakan, tiba-tiba saja ayahku menjulurkan tangannya kepadaku seperti berkata, ‘give me your money, beybeh’ #Beybeh maksudnya baby# (‘Berikan aku uangmu, sayang’).
Dan hal itu langsung membuatku membantin, ‘Like a bad boy’,(‘Seperti lelaki jahat’), dan mau tak mau, ikhlas tak ikhlas, ya sudahlah, langsung kuberikan kepada ayahku uang pendapatanku hari ini, membuat dia kembali tersenyum lembut.
“Terima kasih nak, kamu ini, sudah kecil, hitam pula, eh… hehe.. maksud ayah…” Ucap ayah yang segera kuputus.
“Hehe, sudahlah yah, ayah juga hitam, eh… maksud Bagan, sudah seharusnya Bagan begini, dan emm lebih baik kita masuk ke rumah, nanti ayah bisa tambah sakit, ayo…”
Segera kupapah ayahku memasuki rumah kami yang sangat menyedihkan ini, tak apalah, yang penting rumah ini masih bisa ditempati.
Namaku Bagan, ya… setidaknya orang-orang sering memanggilku begitu, mungkin jika aku sekolah sekarang, aku sudah kelas 5 SD, itu artinya, aku tidak sekolah sekarang, banyak faktor yang menyebabkan itu, mulai dari ekonomi keluargaku yang memang berada di garis miskin, juga diriku yang memang harus mencari nafkah sehari-harinya, itu karena…
Ayahku, dia tidak bisa bekerja lagi, sebuah penyakit yang aneh menyerangnya, oleh karena itu, akulah yang harus bekerja sekarang, dan penyakit ayahku itu sangat aneh menurutku, penyakit itu membuat kulit ayahku hitam kusam, dan kulitnya berbau menusuk, dan hal itulah yang menyebabkan kami sering dihina, di caci maki, dan ah… keadaan ayahku tidak sampai disitu, kakinya pun buntung, gara-gara saat dulu masih bekerja menjadi kuli bangunan, bisa dibilang kecelakaan kerja, membuatnya harus berjalan menggunakan tongkat.
Dan yang membuatku semakin sayang pada ayahku, dia tidak pernah sedikit pun mengeluh, tak jarang pula dia ingin membantuku bekerja, tentu saja kularang, sungguh tak tega aku melihat keadaan ayahku sekarang, dan dengan itu, aku bertekad membuat ayahku bahagia dan tak melarat seperti ini, aku berjanji.
Setelah merebahkan tubuh ayahku di atas kasur yang tak terlalu bagus, hanya elegan, ada miniatur kecoa pula, saat kita memakai kaca mata hitam untuk melihat kecoa itu, tentu saja, yang terjadi adalah, semua jadi gelap, eh maksudku, ah sudahlah.
Aku pun kembali keluar rumah, jam sudah menunjukkan pukul 12.00 WIB, dan itu artinya, ‘Si Bolang’ sudah mulai, ah lupakan tentang bolang, kembali ke pembicaraan, seperti biasa, anak-anak akan pulang dari sekolah, aku pun duduk di salah satu kursi di depan rumahku, tak perlu menunggu lama, anak-anak berseragam berjalan dengan riang, berjalan menuju tujuan masing-masing, ada yang terlihat berjalan dengan riang, ada juga yang berjalan sambil bercanda.
Baju itu, seragam itu, peralatan sekolah itu, kapan aku bisa memilikinya?.
“Bagan…”, Panggil seseorang yang membuat lamunanku buyar seketika bak burung-burung perkutut yang telah lepas dari sangkarnya, artinya… luar biasa, lamunanku 3D.
Ternyata teman-temanku, mereka pun menghampiriku dan duduk di sampingku, tak jauh berbeda denganku, teman-temanku ini juga lebay dan alay, ah maksudku mereka juga tak bisa berkencan dengan Mbak Cantika, haihsss… tepatnya berekonomi rendah sepertiku, dan juga sangat ingin bersekolah sepertiku, nah baru benar.
Seperti hari-hari sebelumnya, kami selalu berkumpul untuk melakukan Sholat Zuhur bersama, dan ternyata azan sudah berdendang, kami pun segera pergi menuju masjid terdekat.
Akhirnya, setelah pulang dari masjid, kami kembali berkumpul di rumahku, dengan tema, ‘curhat yuk~’.
“Kalian tahu tidak, hari ini aku sungguh sial…” Ucap Nahir salah satu temanku, membuka percakapan.
“Memangnya ada apa?”,Tanya Usain.
“Yah… kau tahu tidak, pagi tadi hehe, tanpa sengaja aku melihat buah mangga montok yang menggugah iman, setelah itu, aku melirik kiri dan kanan lalu berkata, ‘aman’…” Ucap Nahir yang tiba-tiba dipotong Saipudin.
“Wah, kamu maling ya itu mangga?” Nahir pun menjawab.
“Tentu saja, Nahir gitu loh, dan dimohon jangan memotong, nah… aku sudah mengambil ancang-ancang dari situ, lalu 1.. 2… 3…”
“Kamu panjat itu pohon?” Tanya Juki yang tiba-tiba memotong, membuat Nahir agak kesal.
“Bukan, itu ancang-ancang untuk melepas sandal, nah baru kunaiki pohon mangga itu, saat sudah hampir sampai ke tempat tujuan tiba-tiba…” Ucap Nahir yang membuat kami deg-degan
“Tiba-tiba eh… nggak ada angin, nggak ada hujan, celanaku melorot, cepat-cepat kunaikkan lagi, eh tiba-tiba ada waria, parahnya lagi waria itu malah teriak ‘maling… maling’, kaget aku…” Ucap Nahir lagi yang membuat kami langsung syok.
“Lalu…” Ucapku.
“Beuh… langsung bukah (Lari) aku…” Jawabnya yang langsung membuat kami semua tertawa, memang selalu menyenangkan jika bersama-sama dengan teman-temanku.
“Itu akibatnya berbuat tak baik…” Timpalku.
Akhirnya teman-temanku berpamitan kepadaku, jam sudah menunjukkan pukul 13.00 WIB waktunya untuk aku dan teman-temanku bekerja mencari uang.
Aku pun memasuki rumahku tepatnya kamar ayahku. Kulihat ayahku sedang makan, dengan sopan, akupun pamit kepada ayahku untuk menemui Pak Pahmi, tempatku bekerja sebagai nelayan, ayahku hanya menggangguk, dan setelah itu, aku sudah berlalu dari hadapannya.
Segera ku pergi ke jamban, tempat perahu Pak Pahmi berada, dan ternyata Pak Pahmi sudah tiba.
“Assalamualaikum pak…” Ucapku sambil mengatur napas karena berlari-lari tadi.
“Ah, walaikumsalam, nah seperti biasa, Bagan… karena kamu sudah datang, cepat naiki perahu yang berwarna biru di sana dan untuk yang lain, menggunakan perahu yang seperti biasa”, Perintah Pak Pahmi, kami semua langsung menggangguk, ya… bukan hanya aku yang bekerja disini, banyak anak-anak lain juga, yang kurasa berekonomi kurang sepertiku, kira-kira sudah 1 tahun aku bekerja disini, dan sepengetahuanku, Pak Pahmi ini sangat baik.
Saat aku ingin menaiki perahu, tiba-tiba Pak Pahmi mencegahku, aku hanya menurutinya.
“Nak… maaf mengganggu sebentar, bapak hanya ingin bertanya sebentar, emmm siapa nama ayah nak Bagan?, mungkin bapak bisa membantu ayahmu…” Ucap Pak Pahmi yang membuatku terdiam.
“Na…na… nama ayah Bagan… emm..” Ucapku terbata, entahlah… kenapa aku jadi gugup seperti ini, Pak Pahmi hanya ingin tahu nama ayahku, ayo Bagan, katakan.
“Emmm… nama ayah saya… Joni pak…” Ucapku dengan lirih, tetapi masih bisa didengar oleh Pak Pahmi, kulihat Pak Pahmi seketika terdiam, membuatku merasakan hal yang ganjil.
“Maksudmu Joni yang terkena penyakit aneh itu?”, Tanya Pak Pahmi dengan nada yang tak kusuka.
“I…iya…” Jawabku.
“Joni yang buruk rupa, jelek, dan menjijikkan itu?…”, Sekarang aku benar-benar tidak suka mendengarnya.
“Tidak, ayah saya tidak sejelek itu…” Ucapku.
“Oh kau benar, dia lebih jelek daripada itu, dan sekarang, kau ku pecat” Ucap Pak Pahmi, a…apa.
“Pak… jangan pak, jangan pecat saya pak, sangat sulit mencari orang sebaik bapak yang mau mempekerjakan saya, saya mohon pak, saya… saya akan bekerja dengan giat pak, hiks… saya juga akan mencari lebih banyak ikan setiap harinya pak, tapi saya mohon pak, jangan pecat saya” Ucapku memohon berlutut di hadapan Pak Pahmi.
“Cih… mana sudi aku mempekerjakan anak Joni sepertimu, dan jangan sentuh kakiku, aku tak mau penyakit ayahmu itu menular padaku..”, Ucap Pak Pahmi kasar, lalu dia pun menendang tubuhku, membuatku sedikit terpental dan meringis kesakitan.
Sambil menangis, aku pun berlalu dari jamban itu, menuju rumahku.
Hiks… tak apalah, masih ada pekerjaan lain yang bisa kulakukan, batinku mencoba menenangkan diri.
Setelah sampai di rumah, kuusap sisa air mata di pipiku, dengan langkah lesu, aku pun duduk, hah~ lebih baik pekara tentang dipecatnya aku oleh Pak Pahmi kusembunyikan saja, aku takut kalau-kalau ayah sedih mendengarnya. Menerawang ke atas awan, begitu terik dan menyilaukan, menarawang ke bawah, sunyi dan gelap, hah, keadaan itulah yang sedang kujalani sekarang, pasang surut kehidupan selalu aku dan ayah rasakan, huh… secepat inikah aku mengeluh, ayahku saja tak pernah mengeluh, semangat Bagan, kau masih bisa bekerja, melakukan apa yang bisa kau lakukan, semangat.
Kulangkahkan kembali kakiku, berjalan dengan penuh semangat, menebar-nebar cahaya dimana-mana, tak peduli ada kotoran yang kuinjak disana, yang besar maupun yang kecil bak upil yang centil, aku memang puitis bukan.
Berjalan dan terus berjalan, dan akhirnya, sampailah aku tepat di depan sebuah rumah Bibik Isma, kuketuk segera pintu rumah Bibik Isma, tak perlu menunggu lama, sang pemilik rumah pun keluar dari kediamannya.
“Oh… Bagan, tumben sekali kau datang jam segini”, Ucap Bibi Isma sambil membawaku duduk.
“Hehe, Bagan hanya ingin cepat bekerja”, Ucapku seadanya, Bibi Isma hanya mengangguk, lalu tiba-tiba, Bibik Isma mengeluarkan sebuah keranjang, ingin kuambil keranjang itu, tapi tiba-tiba, Bibik Isma berkata.
“Bagan, maaf bibik ingin bertanya sebentar, apakah Joni itu ayahmu?” Tanya Bibik Isma yang langsung membuatku kaget, dan terdiam.
“Ah… ternyata benar, mana mungkin Joni itu ayahmu, haha… Joni itu kan…”
“Joni itu ayahku” Potongku cepat, Susana hening seketika.
“Kau kupecat, kau tak perlu menjajakan kerupuk basahku lagi, dan, jangan pernah kau datang ke rumahku lagi”, Ucap Bibik Isma, lalu ingin berlalu dari hadapanku, kupotong cepat langkahnya.
“Kenapa kalian tidak suka dengan ayahku?” Tanyaku.
“Apalagi kalau bukan karena dia itu pembawa sial!” Ucap Bibik Isma.
“Tidak, kalian salah, ayahku bukan pembawa sial dia…”
“Dia apa, oh aku tahu, penyebar penyakit maksudmu?”,
Ucap Bibik Isma membuat tubuhku seketika memanas.
“Jangan lupakan juga, dia itu…”
“CUKUP!…” Teriakku dan segera kuberlalu dari hadapannya.
Besoknya…
“Bagan… BAGAN!” Teriak seseorang dari luar rumahku yang hampir saja membuat rumahku ini roboh.
“Iya… iya… aku keluar, aku keluar..” Ucapku dan ternyata…
“Kalian… ada apa?” Tanyaku lalu membawa 5 temanku itu duduk.
“Huh…huh…ah…hah…huh… kami… huh…hosh…hosh… tadi, huh…” Ucap Nahir dengan nafas yang sangat terengah-engah.
“Pelan-pelan…” Ucapku sambil menepuk bahunya pelan.
“Weh… bukannya tadi kau tidak ikut lari..” Ucap Saipudin.
“Eh… hehe…benar juga, dan Bagan, kita sangat ingin sekolah bukan?” Ucap Nahir, aku pun mengangguk.
“Kita juga bekerja mencari uang karena mungkin dengan itu kita bisa bersekolah bukan?” Ucapnya lagi yang membuatku kembali mengangguk.
“Kita juga punya cita-cita besar yang ingin kita wujudkan bukan?” Ucapnya lagi yang membuatku mengangguk lagi, ada apa memang?.
“Nah, dengan itu… emm apa Sai?” Tanya Nahir kepada Saipudin, PLAAKK…
“Au…” Ringis Nahir karena baru saja tangan kekar milik Saipudin mendarat tepat di jidatnya.
Jiahhhh… bikin tegang saja.
“Langsung ke inti saja, Bagan, kami ingin mengajakmu pergi mengambil buku-buku pelajaran, ada salah satu sekolah yang banyak membuangnya, bagaimana?, kau mau ikut tidak?, hehe.. kamu takut kau sibuk” .Ucap Juki membuatku langsung tersenyum masam.
“Tidak, aku tidak sibuk hari ini, karena… aku sudah di pecat dari semua pekerjaanku, emm, menjajakan kerupuk basah pun aku di pecat juga dan… ah sudahlah, sebaiknya kita cepat pergi, ayo” Ajakku, tetapi kulihat teman-temanku memasang wajah bersalah, membuatku langsung berkata.
“Sudah, tidak apa-apa, jadi, dimana sekolah itu…?”
“Disini?” Tanyaku saat kami sudah tepat berada di depan sebuah sekolah, Nahir menjawabku dengan anggukan, akhirnya kami pun segera berpencar untuk mencari buku tersebut.
Tiba-tiba…
“Bagan…”
Eh… dia…
“Apa yang sedang kau lakukan?” Ucapnya, harus kujawab kah pertanyaan ini, tidak.. ini tidak penting, segera ku ingin melangkahkan kakiku, tetapi dengan cepat, dia menghentikannya.
“Beginikah sikapmu terhadap kembaranmu sendiri?” Apa yang dia katakan, cih… menyebalkan, segera kubalikkan badanku yang tadinya membelakanginya, ku tatap dia tajam.
“Kenalkah aku denganmu?” Ucapku, terlihat dia tertawa, apa ini, tidak ada yang lucu.
“Kau ini, ini aku Bagus, kau ingat sekarang?” Ucapnya dengan senyuman manis, senyuman manis?, cih… dengan menggunakan seragam itu dia tersenyum manis, mungkin dia ingin menertawai kehidupanku sekarang ini.
“Oh… aku ingat, kau kembaranku, kembaranku dulu yang meninggalkan diriku dan ayahku, kau… kau yang meninggalakan kami bersama ibumu itu, ibumu yang, cih… buta kekayaan itu, saat itu ayah masih sakit, tapi wanita itu dengan angkuh berjalan membawamu pergi, pergi untuk tinggal bersama seorang pria yang kaya, meninggalkan kami yang… haishh… lupakan, umurku masih 2 tahun saat itu, tapi apa kau tahu, saat itu hatiku sakit, sakit melihat ayah yang menangis hanya karena wanita jahat itu, dan sekarang, kau tahu, apa yang kau perbuat pada kami sekarang?”
“Bagan… aku..”
“Kau membuat kami menderita seperti ini, kau tahu, rasanya sangat menyakitkan, sangat sakit…” Ucapku, dia hanya terdiam, hanya itu yang kau lakukan, cih… segera ku berlalu dari hadapannya, muak sekali aku jika harus berlama-lama disini.
Aku pun terus berjalan, tak kuhiraukan teman-temanku yang menatapku heran, aku hanya ingin terus berjalan dan jalan, tapi tiba-tiba, Nahir menghalangi jalanku.
“Aku ingin sendiri…” Ucapku lirih, dan kembali aku ingin berjalan, tetapi, Nahir tiba-tiba berbisik tepat di telingaku…
“Rumahmu… kebakaran…” .
DEG… DEG… DEG… ayah…
Segera kuberlari sekencang-kencangnya, sudah banyak orang-orang yang kutabrak, tidak kupedulikan hal itu, aku hanya terus berlari dan lari, pikiranku hanya satu, ayahku… dan aku hanya ingin segera sampai ke rumahku.
Peluh telah membanjiri wajahku, segera kulap dengan punggung tanganku tepat saat aku sudah berada di kerumunan orang yang terlihat mengerumuni kediamanku, api ternyata sudah memakan hampir seluruh rumahku, membuatku langsung menerobos kerumunan orang banyak, polisi sedang mengamankan kalau-kalau ada orang yang terlalu dekat dengan api itu, tapi… bukan itu yang kupermasalahkan.
Pemadam keabaran sama sekali tak terlihat, kuedarkan pandanganku ke seluruh arah, sebagian besar warga disini hanya memandangi api ini bak tontonan sirkus yang menegangkan, apa ini, tidak adakah sedikit keinginan hati nurani mereka untuk membantu memadamkan api ini, kulihat hanya sedikit orang-orang yang mencoba memadamkan api ini.
Aku mulai panik, ayahku masih di dalam, tak tahu apakah masih dalam keadaan hidup atau… tidak…
Dengan segenap tenaga, kucoba menerobos barisan tegap polisi-polisi, tapi nihil, aku pun tambah panik.
“Bukannya itu bocah anak Joni, hei bocah, CEPAT PERGI DARI SINI!, DASAR ANAK MISKIN”, Ucap salah satu polisi, ucapan itu…
“IYA, SUDAH SANA, JANGAN DEKATI API INI, TAK USAH KAU DATANGI AYAHMU SANG PEMBAWA SIAL ITU…”, Ucap salah satu polisi lain, membuat badanku bergetar.
“Wah… sudah dibilang jangan masuk, masih saja, DASAR TAK PUNYA ETIKA, SAMA SAJA DENGAN AYAHNYA YANG MENJIJIKAN ITU” Ucap seorang wanita dari kerumunan.
“Ayahku tidak menjijikan” Ucapku lirih.
“Oh benar juga, ayahmu itu hanya MANUSIA PEMBAWA SIAL!” Ucap wanita itu lagi, hinaan ini… ukh… aku tidak tahan lagi.
“KALIAN YANG TAK PUNYA ETIKA, MENERIAKKI SEORANG ANAK KECIL MISKIN YANG TAK TAHU APA-APA, HIKS… hatiku sakit mendengarnya…hiks” Runtuh sudah pertahananku, lelaki macam apa aku ini..
“YAA… DASAR TAK TAHU MALU, cepat hentikan kelakuan kalian, dia ini hanya anak kecil, dan… berhenti menghina orang, bisa jadi, kalian lah yang pembawa sial” Ucap… i…
“Kau tidak apa-apa Bagan..?” Ucapnya sambil menghampiriku, aku masih terus mengalirkan air mata.
“Ibu akan mencoba menyelamatkan ayah, jadi tunggu disini, oke” Ucapnya lalu mulai berdiri dari posisi jongkoknya yang langsung membuatku memegang tangannya, mencoba menghentikan gerkannya, dan itu berhasil.
“Hikss… jangan pergi, sudah cukup Bagan kehilangan seorang ayah, sudah cukup, Bagan tak mau kehilangan keluarga Bagan yang lain lagi, ibu…” Ucapku masih dengan lelehan air mata yang menggenang, terlihat dia terdiam, dan tiba-tiba memelukku.
“Maafkan ibu Bagan, ibu takkan meninggalkanmu lagi, ibu janji…”
“Bagan… Bagan… emm, apa Bagan masuk sekolah?” .
“Saya disini bu… maaf saya telat..” Ucapku dan segera duduk di samping Bagus.
Ya, sejak tragedi kebakaran 10 hari yang lalu, aku sudah tinggal bersama ibuku, dan juga bersama Bagan, aku pun tak melarat lagi.
Dan sejak itu pula, sumbangan untuk orang miskin semakin besar, sampai-sampai dibukanya sekolah gratis, nah disitulah teman-temanku bersekolah, ah akhirnya aku bisa mewujudkan impianku mulai dari sekarang, terima kasih bu, ayah, Allah… kebahagiaan akan datang kepadaku dari sini.
“Nah. Keluarkan buku matematika kalian, sebentar lagi kita akan belajar matematika, dan segera juga mengumpulkan pr matematika ya…” Ucap Bu guru membuat yang lain menyahut iya, sedangkan aku…
“AAAPAAA…!”


Bel istirahat berbunyi. Setiap penghuni kelas pergi keluar untuk melakukan kegiatan mereka; membeli makanan, memakan bekal atau hanya sekedar berjalan-jalan keliling sekolah mencari angin segar.
“ke WC yuk!” ajak Reni memecah lamunan Vana.
“kamu sama Ika aja deh ke bawahnya. Aku mau makan di kelas.” Jawab Vana dengan senyum tulus mengembang di wajahnya.
Tanpa perlu menjawab lagi, Reni pun pergi bersama Ika. Kini hanya tinggal Vana sendiri di ruangan itu. Ditemani dengan kursi-kursi, meja-meja, dan buku-buku yang hanya bisa terdiam. Perlahan, air mata mengalir dari matanya. Bahunya berguncang. Dibenamkannya wajahnya ke dalam lipatan dua tangannya. Entah apa yang ditangisinya.
“Vana! Kamu kenapa?” tanya Ika yang baru datang dari toilet bersama Reni.
Vana mengambil dompet dari tasnya lalu mengeluarkan sebuah foto. Tampak wajah dua orang manusia sedang tersenyum ke arah kamera dengan latar belakang Patung Liberty. Keduanya memegang es krim di tangan dengan wajah yang sangat gembira. “itu aku sama papa aku. Itu waktu aku mau masuk SD. Waktu itu papa ngajak aku ke Amerika Serikat seminggu. Tau gak? Sesudah aku sama papa aku foto di depan patung itu, es krim aku langsung jatuh kena sepatu. Dan aku langsung nangis sejadi-jadinya di situ sampai ketiduran. Lucu banget deh!” Vana pun tertawa sambil mengusap air matanya.
“enak banget ya, masih kecil udah bisa pergi ke USA!” ucap Reni dengan nada iri.
“bukan itu yang mau aku ceritain ke kalian,” wajah Vana kembali merengut. “Aku kangen papa aku. Dia meninggal tujuh tahun yang lalu. Yaitu waktu aku masih kelas tiga SD. Dia meninggal karena sakit kanker yang tak bisa diobati lagi. Dua minggu lagi peringatan tujuh tahun meninggalnya papa. Walaupun papa suka marah-marah sama aku, tapi aku tahu papa sayang sama aku. Aku pengen ke makamnya” air matanya mengalir membasahi pipi. Ia terisak.
“yang sabar ya Van,” ucap Reni sambil mengusap pundak Vana.
“ya udah nanti kamu ke makamnya aja!” ucap Ika kemudian.
“papa aku… papa aku dimakamin di Jogja, Ka. Mama sama kakak aku gak ngasih ijin aku untuk pergi ke sana.” Vana merengut.
“ya udah. Kamu doain aja. Papa kamu pasti seneng ko kamu doain, daripada kamu nangis terus gini. Jelek tau!” Ika menyemangatinya.
Hari ini sepulang sekolah, Vana menyempatkan diri pergi ke gereja untuk mendoakan ayahnya. Selesai berdoa, seorang pria yang membawa sapu berusia kira-kira 40 tahun menghampirinya. Mereka pun mulai mengobrol dan membicarakan banyak hal. Ternyata pria itu adalah seorang koster (pengurus gereja) di gereja tersebut. Namanya Pak Paulus. Vana pun tak sungkan menceritakan tentang ayahnya. Tak jarang air mata pun menetes dari kelopak mata indah Vana, tapi ia terus bercerita.
Setelah puas bercerita, Vana merasakan rasa lega yang luar biasa hadir dalam dirinya, yang tidak dia rasakan saat selesai bercerita dengan Reni dan Ika. Seakan semua bebannya diangkat dari dirinya saat itu juga. Pak Paulus kembali melanjutkan pekerjaannya membersihkan gereja yang besar itu sendiri. Vana langsung mengambil sapu lain, dan ikut menyapu bersama Pak Paulus.
Sudah satu minggu Vana membantu Pak Paulus di gereja. Tak ada hal lain yang membuatnya senang selain ikut membantu menyapu dan mengepel lantai. Suatu hari sesudah membantu membereskan gereja, Vana mengajak Pak Paulus mengobrol sejenak.
“Pak, saya mau minta sesuatu. Mmm… apa bapak mau jadi ‘ayah’ saya?”
Pak Paulus tertawa, “hahaha.. selama ini kamu udah saya anggap jadi anak saya kok. Tanpa kamu minta pun, saya sudah anggap kamu sebagai anak saya. Jadi ayah kamu, bukan berarti harus menikah dengan ibu kamu kan? Saya sudah anggap kamu anak saya yang paling baik. Karena anak kandung saya pun mana mau bantu-bantu saya di gereja. Justru mereka malu dengan pekerjaan saya ini. Tapi kamu datang dan bantu saya di sini, sudah membuat saya jadi semangat bekerja lagi, jadi semangat melayani Tuhan kembali, kamu sudah mengubah hidup saya menjadi berwarna. Saya yang harusnya minta kamu buat jadi anak saya.”
Vana terdiam. Dia menangis. Menangis bahagia. Rasanya benar-benar bahagia saat kita mendapatkan apa yang kita inginkan, yang kita cintai, dan itulah yang dirasakan oleh Vana yang mendamba seorang ayah. “selama ini saya selalu menolak mama saya untuk menikah dengan orang lain. Karena sampai kapan pun, ayah saya tetap hanya ada satu, tidak bisa digantikan. Tapi itu berubah saat bertemu bapak. Bapak sudah mengajarkan banyak hal pada saya. Bapak sudah memberikan kasih sayang pada saya secara tidak langsung. Dan, ya… Pak Paulus adalah ayah kedua saya. Terima kasih, Pak sudah mau menganggap saya anak bapak.”


“Fyuuh… hari yang melelahkan” Keluhku melepas penat setelah bersekolah, bimbel dan les Bahasa Inggris dalam waktu sehari. Tiba-tiba terdengar suara mobil memasuki garasi rumah, kuintip melalui jendela rumah dan ternyata itu adalah ayah.
“Ayaaah…” Aku dan adikku berteriak menyambut kedatangan ayah sambil menggandeng tangannya untuk masuk ke dalam rumah.
“Mama mana?” Tanya ayah.
“Mama ada di kamar, beliau sedang sakit” Jawabku dengan nada sedih.
Di Kamar…
“Mama kenapa?” Tanya ayah.
“Kepala mama pusing dan mulut mama pahit” Jawab mama lemas.
“Ya udah sekarang ke dokter aja yuk” Ajak ayah.
“Nggak usah yah, sakitnya nggak terlalu parah kok” Tolak mama.
“Ya udah sekarang ayah makan dulu ya… maaf mama hari ini hanya masak tempe goreng, itu pun gosong” Lanjut mama.
“Mama sekarang istirahat dulu ya” Kata ayah. Mama hanya mengangggukkan kepala.
Di Ruang Makan…
“Ayah kok makan tempe itu sih?, tempe itu kan gosong, aku aja nggak mau makan!” Tanya ku. Ayah hanya tertawa.
“Kok ayah ketawa sih?” Tanya ku lagi.
“Mba’ semua yang kita dapatkan harus disyukuri, coba kamu lihat di TV atau di pinggir jalan orang-orang yang pekerjaanya hanya mengamen dan meminta-minta, belum tentu mereka bisa makan, sekarang coba kamu rasakan makanan ini pasti rasanya berbeda” Jawab ayah. Kemudian kumakan tempe itu, aku merasa, rasa tempe itu agak aneh tapi enak juga.
“Wah… enak juga ya yah rasanya” Kataku.
“Karena mama memasaknya dengan tulus dan dengan kasih sayang” Kata ayah.


Selepas melihatmu di pagi itu, aku terus saja menunggumu. Di waktu yang sama, tempat yang sama, suasana yang juga terkadang sama. Hanya satu hal yang berbeda, kerinduan yang mulai menyeruak ke dalam hatiku dan kian menjadi seiring dengan bertambahnya waktu.
Di pagi itu, rinai hujan berlarik dari langit. Di antara taburan gerimis, kau turun dari bis kota dengan tangan tertudung di atas kepalamu agar tak terkena tempias sisa-sisa hujan. Kau lantas menuju tempatku berdiam, ruang tunggu terminal kota. Kau mengibas-ngibaskan tanganmu, pakaianmu, pun rambutmu yang tergerai indah.
Ada yang aneh di hatiku saat itu, sebuah perasaan yang tak asing lagi bagiku. Tapi entahlah, semuanya terkesan berbeda. Untuk pertama kalinya dalam sejarah hidupku, aku tak berani menyapa seorang wanita terlebih dahulu. Sungguh lidahku kelu untuk mengucapkan sesuatu, walau sepatah kata pun padamu. Mungkin karena suasana gigil yang sedang berkuasa waktu itu, atau mungkin kau memang tercipta untukku. Itulah sebabnya hingga saat ini, setelah sebulan berlalu, aku tetap pertahankan tekadku untuk menunggumu.
Sebagai lelaki yang cukup pengertian, kau pasti tahu bahwa menunggu adalah sesuatu yang paling tak mengenakkan. Tapi kau tega membiarkanku tersiksa menunggu penjelasan darimu: tentang hubungan kita, cincin yang melingkar di tanganku, semuanya. Kau biarkan aku menunggu. Ah, aku makin tak mengerti dengan sikapmu akhir-akhir ini.
Seharusnya kau lebih memperhatikanku daripada urusan-urusan kantormu itu. Bukannya egois, tapi sebagai tunanganmu, aku ingin sedikit mendapat perhatian lebih darimu seperti awal-awal kita bertemu.
Bukan hartamu yang ku mau. Makanya, aku lebih suka kau ajak makan di warung-warung pinggir jalan asal kau tunjukkan perhatianmu padaku, daripada di restoran-restoran mewah dengan hanya saling pandang dengan tatapan nanar penuh tanda tanya kecurigaan.
Tapi kini, jangankan mengajakku makan, menerima telponku pun kau jarang. Ada apa sebenarnya denganmu? Akankah aku terlepas dari hatimu? Atau mungkin ada sosok yang telah menggantikanku di hatimu? Sungguh kau membuatku bingung dengan sikapmu.
Saat ini, aku hanya bisa menatap kosong langit-langit kamar. Mencoba mengingat segala kenangan indah kita, lantas kembali menatap sendu pada cincin pertunangan kita yang melingkar indah di jari manisku.
Oh ya, nampaknya waku itu ada sebuah cincin yang melingkar di jari manismu. Itulah yang membuatku hingga kini terus saja dihantui rasa khawatir. Mungkinkah kau sudah punya pacar, tunangan, atau bahkan suami? Sungguh aku tak bisa membayangkan bagaimana hancurnya perasaan yang terlanjur ada untukmu ini jika hal itu benar-benar terjadi. Namun harus tetap kupertahankan keyakinanku, bahwa kau memang tercipta untukku, sesuai dengan segenap harapan yang kusulam, juga setiap munajatku pada Tuhan.
Suasana pagi ini, nyaris sama seperti sebulan lalu saat pertama kali aku melihatmu di tempat ini. Dengan hujan, gigil, juga lalu-lalang kendaraan yang tak begitu padat. Hanya satu hal yang berbeda, aku tak sendiri saat ini. Beberapa deret bangku dariku, tampak seorang pria berpakaian rapi seolah juga tengah menantikan seseorang. Pria itu baru saja menutup pembicaraannya di telepon, menghubungi orang yang ia tunggu.
Baru saja kau menelponku. Katamu, kau tengah menungguku di terminal kota itu. Memang terminal itu adalah tempat pertama kali kita beremu, tapi hujan-hujan begini tak seharusnya kita membicarakan semua ini di tempat itu. Aku benar-benar bingung dengan sikapmu. Barangkali itulah penyebab mimpi aneh menghampiri tidurku semalam.
Untuk kali ini, mau tidak mau aku harus menemuimu. Aku tidak mau menungu lebih lama lagi. Menanti kejelasanmu tentang semua ini. Aku akan berangkat menemuimu. Semoga saja kau takkan mengecewakan aku lagi. Tak seperti sebelum-sebelumnya saat kau tak datang di setiap kali kuajak kau bertemu. Rapat mendadak, bertemu client, dipanggil atasan. Nyaris kuhafal alasan-alasanmu di setiap kali kau tak datang memenuhi janjimu.
Sejenak kupandangi cincin pertunangan kita sembari merapalkan harapan, semoga tak ada tangis hari ini. Aku berangkat menemuimu, semoga kau masih di sana menungguku.
Dua jam sudah aku menunggumu, sepertinya kau tak kan datang hari ini. Itu berarti hari ini aku harus pulang dengan membawa sedikit kekecewaan lagi. Tapi tunggu dulu, kulihat pria yang juga tengah menunggu itu nampak gelisah di tempat duduknya. Bahkan dari raut wajahnya tampak seperti orang yang tengah kesal dengan sesuatu. Padahal ia baru saja datang, tak sepertiku yang telah dua jam tepekur menunggumu.
Setelah kuperhatikan dengan seksama, ternyata ia juga memakai cincin yang nyaris sama seperti yang melingkar indah di jari manismu sebulan lalu. Ada firasat tak enak yang perlahan menjalar di benakku. Namun segera kutepis semua itu, berusaha tetap teguh dalam keyakinanku.
Hujan berganti gerimis, kendaraan sesekali berlalu-lalang memecah kesunyian, sementara gigil mulai menguasai segalanya.
Satu bis kembali berhenti. Dan tanpa disangka, dengan suasana, tempat, dan gigil yang sama, kau kembali muncul dari dalam bis itu. Masih sama seperti sebulan lalu: dengan tangan tertudung di atas kepalamu sambil berlari menuju tempatku berdiam.
Sejenak aku tak percaya pada apa yang tengah terjadi. Inilah yang kutunggu selama ini. Ada yang berdetak tak semestinya di dadaku. Lebih cepat, lebih mengisyaratkan sebuah ketaksiapan. Entah mengapa.
Kembali kau kibas-kibaskan tanganmu, pakaianmu, pun rambutmu yang tergerai indah. Lantas kau menoleh ke arahku, sejenak menatapku dengan nanar seolah tengah mengingat sesuatu.
Kau kemudian memalingkan arah pada pria yang juga menunggu itu, mendekatinya, dan ya Tuhan, firasatku benar!
Dadaku sesak seketika, nyaris tak bisa bernapas. Perih sekali. Hanya bisa meratapi segala harapan, penantian, juga kegelisahan menyenangkan yang setelah ini akan terkubur bersama sepi. Aku tak kuat lagi. Sungguh tak sanggup menyaksikan semua ini lebih lama lagi.
Aku pun beranjak pergi. Menembus gigil gerimis, berjalan menyusuri trotoar dengan langkah gontai. Terus menjauh, berusaha melupakan segalanya dan seolah angin lalu saja. Tapi sayang aku tak bisa.
Aku masih tak percaya dengan apa yang tengah terjadi. Begitu berat kuterima semua ini. Sungguh. Segalanya seakan terus memojokkanku. Ingin rasanya aku berteriak sekeras-kerasnya bahwa aku kecewa. Tapi apalah daya, mulutku tetap terdiam, langkahku semakin gontai, dan selebihnya, aku benci semua ini!
Aku terus melangkah, membiarkan gerimis membasahi tubuhku sepenuhnya. Terdengar derap langkah cukup cepat yang perlahan mendekat ke arahku. Tetap aku acuhkan saja seolah tak pernah terjadi apa-apa. Derap langkah itu semakin jelas terdengar. Terus mendekat, lalu kemudian berhenti begitu saja.
“Kau hadir dalam mimpiku semalam.”
Aku tersentak. Terdiam sejenak, lantas menoleh ke asal suara. Aku tak percaya. Kulihat kau terisak sambil tersenyum ke arahku dengan cincin pertunangan yang tak lagi melingkar di jari manismu…